Menulis karena sedang belajar. Karena saya tidak bisa belajar tanpa menulis.

Jumat, 16 Oktober 2015

Siang hari, kaki kiri selonjoran, leyeh-leyeh di kursi depan televisi.

Semester 4 adalah semester yang katanya paling tertekan, tapi dibalik ketertekanan (pengejaran deadline tesis atau harus bayar uang kuliah lagi) tersimpan hikmahnya, yaitu waktu yang sangat fleksibel hahaha. Waktu sangat fleksibel kerena sudah tidak ada jadwal kuliah, dan ini kesempatan kami (para mahasiswa tingkat akhir) untuk menyelesaikan penelitina tesisi. Kami mengagendakan sendiri jadwal kami, serta membuat target sendiri.

Tepat tanggal 12 Oktober lalu saya sudah selesai melakukan pengambilan data untuk penelitian tesis saya. Selanjutnya saya lebih memilih melakukan olah data dan menulis tesis ke kampus, perpustakaan atau tempat lain yang jauh dari rumah. Mengapa? Yah, karena magnet tempat tidur itu sangat luar biasa, ibarat tubuh saya adalah medan magnet positif, tempat tidur adalah medan magnet negatif. Ketika kami bersatu akan sulit dipisah haha.

Kemarin, di waktu yang sangat fleksibel, saya memutuskan untuk melanjutkan clearing kusioner (merapikan data dan perhitungan yang ada di kusioner hasil wawancara dengan responden) di kampus setelah sebelumnya mendapat bantuan dari teman hampir setengahnya. Karena panjangnya intro sebelum melakukan aktivitas (leyeh-leyeh di tempat tidur, buka-buka sosmed, sarapan, beli token listrik, dll), saya terpaksa berangkat ke kampus sekitar pukul 10.30 setelah sebelumnya mengatakan pada teman akan ke kampus pukul 09.30 hehehe.

Hari itu saya membawa motor ke stasiun, dan memarkirnya di tempat penitipan motor. Saya berjalan menuju gate, sebelumnya harus melewati tangga yag letaknya ada dibagian belakang peron stasiun. Entah apa yang saya pikirkan, mungkin saat itu saya sedang melamun (memikirkan hal yang memang beberapa hari ini muncul dipikiran), saat kaki saya melangkahi anak tangga, ternyata kaki saya kurang terangkat tinggi. Alhasil saya langsung tersandung, jatuh, dan kaki saya keseleo. Sepatu sneakers saya langsung lepas, dan celana jeans saya berlumuran pasir (haha ini bukan pertama kalinya saya jatuh seperti ini, tapi yang kesekian kalinya). Seketika kaki saya langsung terasa sakit, kemudian saya duduk sebentar di tangga. Saya mengambil sepatu saya dan memasangnya lagi.

Dari atas peron ada seorang ibu-ibu dengan dua orang anaknya, yang satu mungkin masih berusian satu tahun (digendong), dan yang satunya sekitar 3 tahun. Anak yang berusia 3 tahun mendekati teralis yang membatasi peron dan tangga tempat saya duduk. Anak itu memegang teralis dan melihat saya, dengan tampang polosnya ia berkata, “tidak apa-apa?”

Saya tersenyum melihat ke arahnya, wajah anak itu sangat datar. Inilah yang saya suka dari anak kecil, polos dan benar-benar bertanya tanpa ada maksud apa-apa. “Iya… tidak apa-apa..” jawab saya. Lalu anak itu berjalan sambil lalu. Untungnya lokasi itu sepi hahhaa jadi saya tidak perlu menanggung malu.

Kemudian saya berjalan menuju gate dengan menahan rasa sakit di pergelangan kaki kiri, agak terpincang. Untung masih bisa jalan, ujar saya dalam hati. Kemudian saya berjalan ke peron untuk menunggu kereta, berpikir apakah saya akan mendapat tempat duduk? Apakah kereta ramai? Sepertinya saya butuh tempat duduk kali ini. Tak lama kereta datang, dan untungnya saya mendapatkan tempat duduk, kereta tidak terlalu ramai. Sampai di Stasiun Duri, saya harus  transit, dan berpikir apakah saya akan mendapatkan tempat duduk lagi, dan tepat pas kereta transit datang, saya mendapatkan tempat duduk. Untung saya masih mendapat tepat duduk.

Pada akhirnya saya sampai di kampus dan menuju perpustakaan dengan jalan yang masih sedikit pincang. Saya bertemu kedua orang teman saya yang juga sedang mengerjakan progres tesisnya. Kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Saat jalan ke kantin saya mulai merasa kaki terasa makin nyeri hahaha. Puncaknya pas kembali lagi ke perpustakaan, saya membuka sepatu saya dan melihat ukuran kaki kanan dan kiri sudah berbeda. Untung saya tidak sendirian saat itu, saya bersama dua orang teman saya. Mereka lalu menawarkan diri untuk membelikan cream pereda nyeri, setelah sebelumnya saya menempel koyo cabe di pergelangan kaki (yang dibeli di koperasi dekat kantin saat makan siang) dan saya tidak merasakan panas apa-apa.

Selagi menunggu teman saya kembali, saya mencoba berjalan, dan ternyata kaki kiri saya terasa sakit ketika ditapakkan ke lantai. Hahaha, mau tidak mau saya berjalan seperti lompat kodok, atau seperti belajar kungfu, melatih keseimbangan. Kedua teman saya tertawa saat sudah kembali melihat saya berlagak menirukan gaya kungfu dengan satu kaki atau menirukan gerakan yoga gagal haha. Selama di perpustakaan, terpaksa saya tidak bisa melakukan apa-apa karena nyeri yang berdenyut-denyut. Salah satu teman saya lalu menawarkan film untuk ditonton, ia mengcopy film dari laptopnya dan memasukkannya melalui USB ke laptop saya. Dengan kaki selonjoran di atas kursi (tingkah yang harusnya tidak dilakukan di perpustakaan) saya menonton film komedi yang diberikan teman saya, cukup mengurangi rasa sakit. Teman saya juga lalu membantu memijit kaki saya hahaha untung punya teman-teman yang baik hati (Kak Aci dan Nastiti.. aku padamuuu).

Hingga akhirnya saya bingung harus pulang ke rumah bagaimana. Perjalanan dari kampus ke rumah cukup jauh, dan saya harus naik kereta yang notabene akan sangat ramai pada saat jam pulang kerja. Untung ada ojek online. Saya lalu memesan salah satu ojek online dan minta dijemput di depan perpustakaan. Untung abang ojeknya mau menjemput masuk, sehingga saya tidak perlu bersusah payah jalan ke pintu keluar kampus (yang terasa sangat jauh karena keadaaan kaki yang seperti ini). Saya lalu berpamitan dengan kedua teman saya dan lanjut menikmati perjalanan dengan abang ojek.
Tantangan selanjutnya adalah, saya harus mengambil motor yang saya titipkan di stasiun. Keadaanya adalah, abang saya masih di kantor sampai malam, dan kakak ipar saya sedang di luar negeri, tadaaaa saya harus mengerjakannya sendirii. Sesampai di Tangerang saya langsung meminta abang ojek mengantarkan saya ke tempat penitipan motor. Saya turun dari motor abang ojek, membayar dan berjalan ke arah penitipan motor. Bapak penjaga yang sudah kenal dengan saya langsung menyambut,

“Lah neng, kenapa jalannya pincang?” Tanya si Bapak.

“Iya pak, tadi saya jatoh, keseleo mungkin hehe, boleh minta tolong motor saya dikeluarin pak?” ujar saya.

“Oh iya neng, Bapak bantu.. wah, harus dibawa ke tukang urut neng, sebelum bengkaknya parah..” kata si Bapak sambil mengeluarkan motor saya, beliau tahu saya akan kesusahan mengeluarkan motor dalam keadaan seperti ini.

“Iya pak, ini mau langsung ke tukang urut hehe..” jawab saya.

“bisa neng bawa motornya?” Tanya si Bapak lagi.

“Bisa pak, untung yang sakit cuma kaki kiri, bukan dua-duanya haha..”jawab saya.

“Oh iya ya neng.. haha” tawa si Bapak.

“Untung juga saya bawanya motor matic  Pak, repot kalo bawa motor bebek haha,” kata saya lagi sambil membayangkan jika saya membawa motor bebek yang mengharuskan kaki kiri mengover gigi.

“Hahahaha, iya juga ya neng, semuanya serba untung..” ujar si Bapak.

Saya menaiki motor dengan hati-hati dan berpikir sejenak. Benar juga kata si Bapak, semuanya serba untung. Seharian ini, saya tidak mengeluhkan sakitnya kaki yang membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak produktif.

Saya lalu berpamitan dengan si Bapak, dan menjalankan motor dengan sangat hati-hati. Untung di dekat rumah ada ruko yang bertuliskan pijat tradisional. Tapi sebelumnya saya agak ragu ke sana, takut tukang urutnya adalah laki-laki. Saya pada akhirnya menelpon abang saya yang di kantor dan bertanya saya baiknya mengurut kaki saya di mana. Pada akhirnya saya memutuskan mencoba ke pijat tradisional itu. Saya masuk ke dalam, dan untungnya mereka punya pemijat wanita hahaha. Kaki saya lalu diurut, dan pemijatnya sangat ramah dan baik. Untung bertemu dengan tukang pijat yang baik.

Setelah sedikit meringis dan menahan teriak karena pijitan, bengkak kaki saya mulai berkurang dan kaki saya terasa mendingan. Kata mba pemijatnya, untung saya langsung datang ke sana pas belum  terlalu parah. Saya lalu kembali ke rumah, namun dengan kaki yang sedikit pincang dan saya lapaar. Abang saya menelpon menanyakan keadaan saya, dan saya mengatakan keadaan saya sudah membaik. Lalu dia menawarkan untuk membelikan makan malam. Untung ada abang saya yang siap menjadi obat pereda lapar haha.

Hari itu semuanya serba untung. Apalagi untungnya juga saya sudah selesai mengambil data (penganbilan data saya membutuhkan tenaga untuk berjalan kaki). Walaupun tidak dapat melakukan apa-apa di hari itu, dan mungkin tidak bisa kemana-mana selama beberapa hari ke dapan, saya tetap merasa untung. Bahkan dalam tulisan ini saya sudah mengeluarkan lebih dari 20 kata untung hahaha. Apapun yang terjadi hari itu ternyata saya menikmatinya saja. Tak tahu mengapa, tapi entahlah, semuanya serba untung.

Keesokan paginya, mama saya menelpon dan saya menceritakan insiden kemarin. Dan tahu apa tanggapan dari mama saya?

“Tuh kan, kamu itu udah sering banget jatuh, jalanmu itu suka ga benar, coba jalannya kayak model, belajar jalannya kayak model”


Mendengar pernyataan mama, saya hanya diam dan berkata, “oke ma, semoga bisa jalan kayak model, hahaha.”

0 komentar :

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang ambievert -- Bercita-cita dapat mengunjungi 35 Provinsi di Indonesia --Belajar menjadi environmentalist tapi masih sulit untuk hemat energi (namanya juga tahap belajar) -- Sarjana Ekonomi namun tidak begitu paham khatam ekonomi -- penggila senja dan pengagum langit biru -- sangat menyukai perjalanan darat -- tak pernah berhenti kagum atas karya Pencipta alam yang ada di bumi -- Environmental Science, University of Indonesia 2014 (Master degree) -- Resource and Environmental Economics, Bogor Agricultural University 2009-2013 (Bachelor Degree) -- SMAN 5 Bengkulu -- Christian -- I just wanna be a good Indonesian

Popular Posts