Siang hari, kaki kiri selonjoran,
leyeh-leyeh di kursi depan televisi.
Semester 4 adalah semester yang
katanya paling tertekan, tapi dibalik ketertekanan (pengejaran deadline tesis atau
harus bayar uang kuliah lagi) tersimpan hikmahnya, yaitu waktu yang sangat
fleksibel hahaha. Waktu sangat fleksibel kerena sudah tidak ada jadwal kuliah,
dan ini kesempatan kami (para mahasiswa tingkat akhir) untuk menyelesaikan
penelitina tesisi. Kami mengagendakan sendiri jadwal kami, serta membuat target
sendiri.
Tepat tanggal 12 Oktober lalu
saya sudah selesai melakukan pengambilan data untuk penelitian tesis saya. Selanjutnya
saya lebih memilih melakukan olah data dan menulis tesis ke kampus,
perpustakaan atau tempat lain yang jauh dari rumah. Mengapa? Yah, karena magnet
tempat tidur itu sangat luar biasa, ibarat tubuh saya adalah medan magnet
positif, tempat tidur adalah medan magnet negatif. Ketika kami bersatu akan
sulit dipisah haha.
Kemarin, di waktu yang sangat
fleksibel, saya memutuskan untuk melanjutkan clearing kusioner (merapikan data dan perhitungan yang ada di
kusioner hasil wawancara dengan responden) di kampus setelah sebelumnya
mendapat bantuan dari teman hampir setengahnya. Karena panjangnya intro sebelum
melakukan aktivitas (leyeh-leyeh di
tempat tidur, buka-buka sosmed, sarapan, beli token listrik, dll), saya
terpaksa berangkat ke kampus sekitar pukul 10.30 setelah sebelumnya mengatakan
pada teman akan ke kampus pukul 09.30 hehehe.
Hari itu saya membawa motor ke
stasiun, dan memarkirnya di tempat penitipan motor. Saya berjalan menuju gate, sebelumnya harus melewati tangga
yag letaknya ada dibagian belakang peron stasiun. Entah apa yang saya pikirkan,
mungkin saat itu saya sedang melamun (memikirkan hal yang memang beberapa hari
ini muncul dipikiran), saat kaki saya melangkahi anak tangga, ternyata kaki
saya kurang terangkat tinggi. Alhasil saya langsung tersandung, jatuh, dan kaki
saya keseleo. Sepatu sneakers saya langsung lepas, dan celana jeans saya
berlumuran pasir (haha ini bukan pertama kalinya saya jatuh seperti ini, tapi
yang kesekian kalinya). Seketika kaki saya langsung terasa sakit, kemudian saya
duduk sebentar di tangga. Saya mengambil sepatu saya dan memasangnya lagi.
Dari atas peron ada seorang
ibu-ibu dengan dua orang anaknya, yang satu mungkin masih berusian satu tahun
(digendong), dan yang satunya sekitar 3 tahun. Anak yang berusia 3 tahun mendekati teralis yang membatasi peron dan tangga tempat saya duduk. Anak itu
memegang teralis dan melihat saya, dengan tampang polosnya ia berkata, “tidak
apa-apa?”
Saya tersenyum melihat ke
arahnya, wajah anak itu sangat datar. Inilah yang saya suka dari anak kecil,
polos dan benar-benar bertanya tanpa ada maksud apa-apa. “Iya… tidak apa-apa..”
jawab saya. Lalu anak itu berjalan sambil lalu. Untungnya lokasi itu sepi
hahhaa jadi saya tidak perlu menanggung malu.
Kemudian saya berjalan menuju
gate dengan menahan rasa sakit di pergelangan kaki kiri, agak terpincang. Untung
masih bisa jalan, ujar saya dalam hati. Kemudian saya berjalan ke peron untuk
menunggu kereta, berpikir apakah saya akan mendapat tempat duduk? Apakah kereta
ramai? Sepertinya saya butuh tempat duduk kali ini. Tak lama kereta datang, dan
untungnya saya mendapatkan tempat duduk, kereta tidak terlalu ramai. Sampai di
Stasiun Duri, saya harus transit, dan
berpikir apakah saya akan mendapatkan tempat duduk lagi, dan tepat pas kereta
transit datang, saya mendapatkan tempat duduk. Untung saya masih mendapat tepat
duduk.
Pada akhirnya saya sampai di
kampus dan menuju perpustakaan dengan jalan yang masih sedikit pincang. Saya
bertemu kedua orang teman saya yang juga sedang mengerjakan progres tesisnya. Kami
memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Saat jalan ke kantin saya mulai
merasa kaki terasa makin nyeri hahaha. Puncaknya pas kembali lagi ke
perpustakaan, saya membuka sepatu saya dan melihat ukuran kaki kanan dan kiri
sudah berbeda. Untung saya tidak sendirian saat itu, saya bersama dua orang
teman saya. Mereka lalu menawarkan diri untuk membelikan cream pereda nyeri, setelah sebelumnya saya menempel koyo cabe di pergelangan
kaki (yang dibeli di koperasi dekat kantin saat makan siang) dan saya tidak
merasakan panas apa-apa.
Selagi menunggu teman saya
kembali, saya mencoba berjalan, dan ternyata kaki kiri saya terasa sakit ketika
ditapakkan ke lantai. Hahaha, mau tidak mau saya berjalan seperti lompat kodok,
atau seperti belajar kungfu, melatih keseimbangan. Kedua teman saya tertawa
saat sudah kembali melihat saya berlagak menirukan gaya kungfu dengan satu
kaki atau menirukan gerakan yoga gagal haha. Selama di perpustakaan, terpaksa
saya tidak bisa melakukan apa-apa karena nyeri yang berdenyut-denyut. Salah satu
teman saya lalu menawarkan film untuk ditonton, ia mengcopy film dari laptopnya dan memasukkannya melalui USB ke laptop
saya. Dengan kaki selonjoran di atas kursi (tingkah yang harusnya tidak
dilakukan di perpustakaan) saya menonton film komedi yang diberikan teman saya,
cukup mengurangi rasa sakit. Teman saya juga lalu membantu memijit kaki saya
hahaha untung punya teman-teman yang baik hati (Kak Aci dan Nastiti.. aku
padamuuu).
Hingga akhirnya saya bingung
harus pulang ke rumah bagaimana. Perjalanan dari kampus ke rumah cukup jauh,
dan saya harus naik kereta yang notabene
akan sangat ramai pada saat jam pulang kerja. Untung ada ojek online. Saya lalu memesan salah satu ojek
online dan minta dijemput di depan
perpustakaan. Untung abang ojeknya mau menjemput masuk, sehingga saya tidak
perlu bersusah payah jalan ke pintu keluar kampus (yang terasa sangat jauh
karena keadaaan kaki yang seperti ini). Saya lalu berpamitan dengan kedua teman
saya dan lanjut menikmati perjalanan dengan abang ojek.
Tantangan selanjutnya adalah,
saya harus mengambil motor yang saya titipkan di stasiun. Keadaanya adalah,
abang saya masih di kantor sampai malam, dan kakak ipar saya sedang di luar
negeri, tadaaaa saya harus mengerjakannya sendirii. Sesampai di Tangerang saya
langsung meminta abang ojek mengantarkan saya ke tempat penitipan motor. Saya turun
dari motor abang ojek, membayar dan berjalan ke arah penitipan motor. Bapak
penjaga yang sudah kenal dengan saya langsung menyambut,
“Lah neng, kenapa jalannya
pincang?” Tanya si Bapak.
“Iya pak, tadi saya jatoh,
keseleo mungkin hehe, boleh minta tolong motor saya dikeluarin pak?” ujar saya.
“Oh iya neng, Bapak bantu.. wah,
harus dibawa ke tukang urut neng, sebelum bengkaknya parah..” kata si Bapak sambil
mengeluarkan motor saya, beliau tahu saya akan kesusahan mengeluarkan motor
dalam keadaan seperti ini.
“Iya pak, ini mau langsung ke
tukang urut hehe..” jawab saya.
“bisa neng bawa motornya?” Tanya
si Bapak lagi.
“Bisa pak, untung yang sakit cuma
kaki kiri, bukan dua-duanya haha..”jawab saya.
“Oh iya ya neng.. haha” tawa si
Bapak.
“Untung juga saya bawanya motor matic Pak, repot kalo bawa motor bebek haha,” kata
saya lagi sambil membayangkan jika saya membawa motor bebek yang mengharuskan
kaki kiri mengover gigi.
“Hahahaha, iya juga ya neng,
semuanya serba untung..” ujar si Bapak.
Saya menaiki motor dengan
hati-hati dan berpikir sejenak. Benar juga kata si Bapak, semuanya serba
untung. Seharian ini, saya tidak mengeluhkan sakitnya kaki yang membuat saya
tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak produktif.
Saya lalu berpamitan dengan si
Bapak, dan menjalankan motor dengan sangat hati-hati. Untung di dekat rumah ada
ruko yang bertuliskan pijat tradisional. Tapi sebelumnya saya agak ragu ke sana,
takut tukang urutnya adalah laki-laki. Saya pada akhirnya menelpon abang saya
yang di kantor dan bertanya saya baiknya mengurut kaki saya di mana. Pada akhirnya
saya memutuskan mencoba ke pijat tradisional itu. Saya masuk ke dalam, dan
untungnya mereka punya pemijat wanita hahaha. Kaki saya lalu diurut, dan pemijatnya
sangat ramah dan baik. Untung bertemu dengan tukang pijat yang baik.
Setelah sedikit meringis dan
menahan teriak karena pijitan, bengkak kaki saya mulai berkurang dan kaki saya
terasa mendingan. Kata mba pemijatnya, untung saya langsung datang ke sana pas
belum terlalu parah. Saya lalu kembali
ke rumah, namun dengan kaki yang sedikit pincang dan saya lapaar. Abang saya
menelpon menanyakan keadaan saya, dan saya mengatakan keadaan saya sudah
membaik. Lalu dia menawarkan untuk membelikan makan malam. Untung ada abang
saya yang siap menjadi obat pereda lapar haha.
Hari itu semuanya serba untung. Apalagi untungnya juga saya sudah selesai mengambil data (penganbilan data saya membutuhkan tenaga untuk berjalan kaki). Walaupun
tidak dapat melakukan apa-apa di hari itu, dan mungkin tidak bisa
kemana-mana selama beberapa hari ke dapan, saya tetap merasa untung. Bahkan dalam
tulisan ini saya sudah mengeluarkan lebih dari 20 kata untung hahaha. Apapun yang terjadi
hari itu ternyata saya menikmatinya saja. Tak tahu mengapa, tapi entahlah,
semuanya serba untung.
Keesokan paginya, mama saya
menelpon dan saya menceritakan insiden kemarin. Dan tahu apa tanggapan dari
mama saya?
“Tuh kan, kamu itu udah sering
banget jatuh, jalanmu itu suka ga benar, coba jalannya kayak model, belajar
jalannya kayak model”
Mendengar pernyataan mama, saya
hanya diam dan berkata, “oke ma, semoga bisa jalan kayak model, hahaha.”
0 komentar :
Posting Komentar