Sudah hampir dua tahun saya hidup
sebagai masyarakat commuter. Mungkin
ada yang belum memahami apa itu masyarakat commuter?
Nah, kira-kira pengertiannya adalah masyarakat yang tinggal di wilayah hinter
land Ibu Kota Jakarta, yaitu (Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, dan Bogor),
namun melakukan aktivitas (pada hari kerja) di Jakarta pada siang hari. Umumnya
masyarakat commuter lebih memilih menggunakan transportasi Commuter Line (KRL Jabodetabek), mereka akan berangkat pagi, dan
kembali ke wilayah mereka di malam hari. Nah, kira-kira hal inilah yang membuat
jumlah penduduk Jakarta berbeda pada siang hari dan malam hari. Berdasarkan
salah satu buku yang saya baca yaitu buku “Mengapa Jakarta Banjir?” terbitan
Tim Mirah Sakethi tahun 2009 (dapat diakses di website BPBD Jakarta), jumlah
penduduk di Jakarta pada malam hari (penduduk asli Jakarta) berjumlah 9 juta
jiwa. Pada siang hari, jumlah penduduk membludak menjadi 14 juta jiwa (karena
sudah ditambah masyarakat commuter). Nah,
saya kemungkinan besar belum termasuk dalam 14 juta jiwa ini, haha.. karena ini
data tahun 2009. Pastinya, tahun 2015 jumlahnya semakin besar! (maafkan saya,
sedang malas mencari datanya).
Layaknya masyarakat commuter,
saya berangkat pagi-pagi dari lokasi tempat tinggal saya yaitu Kota Tangerang
menuju Jakarta untuk kuliah. Berangkat di jadwal kereta yang sama hampir tiap
harinya membuat saya hampir tahu wajah-wajah yang sering berangkat bersama saya
dalam gerbong yang sama. Perjalanan saya dimulai dari Stasiun Batu Ceper
(stasiun terdekat dari rumah), menuju Stasiun Duri, lalu saya transit (pindah
kereta) menuju Stasiun Manggarai. Hampir setiap hari kerja seperti itu.
Suatu ketika di pagi hari (pada
saat itu saya semester 2, tulisan ini dibuat saat saya sudah semester 4), saya
berangkat menuju kampus, dan saya merasa menjadi orang paling bodoh dan tolol. Pada
saat saya sudah berangkat dan sampai di stasiun duri untuk menunggu kereta
transit, saya melihat ada seorang kakek tua berjalan melintasi rel karena ingin
berpindah jalur. Sepertinya kakek tua ini tadi berangkat naik kereta yang sama
dengan saya dari Tangerang, dan hendak berpindah ke jalur 1 (pada saat itu saya
sedang menunggu kereta transit saya di jalur 2).
Kakek tua ini sepertinya sudah
tidak bisa melihat dengan normal. Beliau menggunakan tongkat untuk membantu
menuntun dirinya sendiri agar tidak menabrak sesuatu yang tak bisa dilihatnya. Tahukah
apa yang ada dipikiran saya saat itu? Saya berpikir “separah itu kah
orang-orang di stasiun ini, tidak ada yang mau membantu menuntun si kakek? Bahkan
petugas pun tidak ada?” Sekilas saya melihat orang-orang di sekitar saya juga
melihat hal yang sama, sebersik saya mendengar seorang ibu bergumam “kasian
kakek itu ga ada yang nolongin”, beberapa hanya melihat dengan tampang iba. Catat
tampang iba, but no action!
Dan tahukah, saya langsung
menyadari saya adalah salah satu dari mereka semua yang di stasiun! Saya adalah
salah satu bagian dari orang-orang bodoh dan tolol yang hanya melihat, tanpa
membantu! Apa yang ada dipikiran saya saat itu? Apa yang ada dipikiran saya
sehingga membuat badan kaku dan berpikir terlalu panjang untuk menolong orang
lain. Entahlah, saya baru menyadari betapa bodohnya saya tepat pada saat sang kakek
sudah mencapai jalur 1, padahal cara berjalan sang kakek sangat pelan, ya
pelaan sekali, karena keterbatasan fisiknya. Saya tidak akan pernah melupakan
kebodohan saya di hari itu. Hingga pada saat kereta transit saya datang dan
saya naik ke dalam kereta, saya bergumam dalam hati minta ampun pada Tuhan atas
kebodohan saya, berjanji tidak perlu segan untuk menolong orang yang memang
perlu bantuan, terutama orang tersebut ada di depan mata saya.
Hari berlalu, dan tidak terasa
saya sudah memasuki semester 3. Dia awal semester, saya terjebak menjadi bagian
dalam kepengurusan himpunan mahasiswa (himma) program studi. Program pertama
yang diadakan adalah kuliah umum dan penyambutan mahasiswa baru S2 dan S3. Acara
itu diadakan pada hari Sabtu (saya lupa tanggalnya) sekitar pertengahan
Februari 2015. Acara dimulai pukul 07.00 WIB, dan saya sebagai panitia harus
hadir paling lambat pukul 06.30 WIB. Perjalanan dari rumah ke kampus (tentunya
dengan menggunakan kereta) memakan waktu sekitar 1,5 jam, berarti saya harus
berangkat dari rumah pukul 05.00, dan kereta pertama dari Stasiun Batu Ceper
ada pukul 05.20. Malam harinya Bapa saya sudah menawarkan diri untuk
mengantarkan saya ke stasiun dan saya menerima tawaran itu.
Nah, lucunya, sampai pukul 01.00,
saya belum bisa tidur. Kalian tahu karena apa? Masih ingat fenomena gaun biru
hitam dan gaun putih emas? Ya! Haha gara-gara si gaun itu, saya sibuk berdebat
dengan teman-teman saya di beberapa grup yang ada di akun Whatsapp dan Line
saya, hahaha. Alhasil, saya bangun telat, dan mungkin tidak akan bangun jika
tidak dibangunkan Bapa saya.
“Boru, gak jadi kau berangkat? Ini
udah jam 5..” sapa Bapa saya lembut.
Saya membuka mata dan melotot
saat melihat jam di handphone menunjukkan pukul 04.55. Oh my God! Kereta
pertama jam 5.20! Cadas! Refleks, saya langsung siap-siap mandi koboy, dan
berhasil berangkat keluar dari rumah pukul 5.15. Bapa saya mengantarkan saya
dengan menggunakan motor menuju stasiun. Pada saat kami sedang melewati jalan
raya yang memang bersebelahan dengan rel, tiba-tiba kereta yang akan saya naiki
melintas, dan saya langsung memohon Bapa saya untuk mempercepat laju motor.
Namun, apalah arti kecepatan motor matic 110cc dibanding dengan kecepatan kereta
listrik! Aissh! Dan saya sampai di depan stasiun dengan menatap kepergian kereta
5.20 yang hendak saya naiki. Nasib, dan saya pun terpaksa menunggu kedatangan
kereta selanjutnya pukul 5.50.
Setelah saya berpamitan dengan
Bapa, saya masuk menuju gate. Saya langsung
masuk ke peron dan duduk di kursi tunggu. Hanya saya sendiri di peron, dan
sangat sepi, karena hari itu hari Sabtu (bukan hari kerja), para warga commuter
pasti akan lebih memilih menikmati tidur hingga siang, melampiaskan kelelahan
bekerja selama 5 hari. Sambil mencoba mengeluarkan handphone dan memasang
headset ke telinga, saya tidak sengaja melihat ke arah gate, seorang kakek tua
berjalan dengan menggunakan tongkatnya menuju peron. Saya melihat sebentar lalu
menoleh ke arah lain (mungkin saat itu saya belum sadar). Sang kakek sedang
dituntun petugas, namun hanya sebentar, si petugas kembali ke kursi singgasananya,
dan sang kakek berjalan mendekati saya.
Sang kakek berjalan dengan pelan,
dan saya kembali melihat ke arahnya. Dan, oh my God! Saya baru sadar, beliau
adalah sang kakek yang saya lihat beberapa waktu lalu di Stasiun Duri itu. Ya,
saya yakin, saya tidak salah. Saya adalah pengingat (memori) yang baik. Saya
tidak pernah menyangka diberikan kesempatan bertemu dengan sang kakek, saya
ingin menebus kebodohan yang sudah saya lakukan sebelumnya, walaupun kebodohan
yang saya lakukan dulu tidak akan mungkin bisa ditebus dengan apa saja yang
saya lakukan. Saya langsung memasukkan handphone dan headset ke tas, kemudian
menghampiri kakek.
“Pagi kek, saya bantu ya..” sapa
saya langsung kepada kakek. Si Kakek tersenyum, matanya sangat sayu, garis keriput
di wajahnya tertarik urat-urat wajahnya kerena iya tersenyum. Senyumnya tidak
lebar, tapi saya tahu, beliau tersenyum. Saya memegang lengannya, dan menuntunnya
ke kursi tunggu.
“Kakek mau ke mana?” tanya saya.
Beliau terlihat seperti berusaha melihat wajah saya. Saat itu cahaya matahari
masih remang-remang, dan lampu stasiun tidak begitu terang.
“Saya mau ke Jakarta Kota, nak,” Jawab
kakek. Matanya seperti ingin melihat saya, tapi sorot matanya tidak mendapatkan
wajah saya. Beliau seperti melihat ke arah lain.
“Kakek sendiri?” tanya saya.
Beliau mengangguk.
“Nak mau kemana?” tanya beliau
balik.
“Kita berbeda arah kek..saya mau
ke Manggarai kek.. tapi nanti saya akan
antarkan Kakek ke Jalur Jakarta Kota,” jawab saya. Dari duri, kereta menuju
Jakarta Kota terdekat harus menggunakan kereta yang ke arah stasiun Kampung
Bandan. Dari sana, beliau harus transit lagi menuju kereta Jakarta Kota. Sebenarnya
saya sangat ingin mengantarnya, namun saya mengingat kewajiban utama saya yang
harus saya kerjakan di kampus, dan saya juga sedang dikejar waktu. Tapi saya
yakin, walaupun saya tidak bisa menolong si kakek sampai pada tujuannya, saya
pasti bisa membantunya walaupun hanya sedikit.
Beberapa saat kami berdua
terdiam. Tiba-tiba beliau mengeluarkan satu lembar uang Rp 10.000 dan dua
lembar uang Rp 2.000, kemudian memanggil saya.
“Nak, mata saya tidak bisa
melihat dengan jelas, ini uang yang ada di tangan saya ada berapa?” Tanya
beliau.
“Oh, yang ini Rp 10.000 kek,“
jawab saya memegang uang sepuluh ribu dan menaruhnya di tangan kirinya, “kalau yang
ini dua-duanya Rp 2.000 kek..” lanjut saya meletakkan uang itu di tangan
kanannya.
Mata sang kakek memandang kosong
dan mengangguk-angguk, “ini Rp 10.000,” ia menggerakkan tangan kirinya, “ini Rp
2.000,” ia lalu menggerakkan tangan kanannya.
“Iya kek..” sahut saya. Kemudian saya
melihat si kakek memasukkan uang-uang itu ke masing-masing saku celananya kiri
dan kanan. Saya berpikir, apakah si kakek hanya mengantongi uang segitu? Dan ia
mau ke Jakarta. Saya hanya bisa diam, bingung, ingin bertanya lebih tapi saya
takut menyinggung perasaaanya. Tindakan saya jika tiba-tiba memberi uang
kepadanya juga tidak bisa dikatakan bijaksana. Saya lebih memilih diam dan
memutuskan untuk melakukan permintaan tolong apa yang diujarkannya.
“Kakek ke Jakarta mau ngapain,
kek?” Tanya saya.
“Mau ada kerjaan..” jawabnya sambil
tertawa kecil. Saya bingung, apa yang akan dikerjakan kakek? Saya ingin
bertanya lagi, tapi saya takut lancang. Kami
berdua lalu terdiam, tapi banyak pertanyaan muncul di kepala saya.
Beberapa saat kemudian,
pengumuman stasiun menyiarkan kereta tujuan Duri akan segera masuk di jalur 2. Mengingat
langkah kakek yang sangat pelan, saya lalu memegang lengan kakek.
“Kek, yuk kita jalan ke depanan,
keretanya sebentar lagi sampai, kakek pegang tangan saya saja ya..saya tuntun
kakek..” kata saya, dan kakek tersenyum.
Tak lama kereta datang, dan pintu
kereta terbuka di depan kami. Saya menuntuk kakek dengan pelan..beliau memegang
lengan saya erat, dan saya memegang lengannya. Tangannya yang satu memegang
tongkat. Saat kami sudah masuk, saya langsung menuntunnya ke arah kursi
prioritas di pojok gerbong. Saya mempersilahkan beliau duduk di sana.
“Kakek, kakek duduk di sini ya, ini
kursi prioritas kek, saya lebih pantas duduk di kursi yang sebelah sana,”
tunjuk saya kea rah kursi kosong yang tidak jauh dari kursi prioritas, berharap
mata sang kakek setidaknya dapat melihat arah jari saya. “Saya tetap duduk di
dekat kakek, saya akan perhatikan kakek, nanti pas sudah mau turun saya akan
datang ke kakek ya..” ujar saya. Sang kakek tersenyum dan mengangguk. Saya sudah
lama memilih tidak duduk di kursi prioritas jika kursi-kursi yang lain kosong, karena
kursi itu bukan hak saya, itulah saya memilih untuk tidak duduk bersebelahan
dengan kakek.
Saya berjalan duduk di kursi yang
tidak jauh dari kakek. Kereta pagi itu tidak ramai, tidak seperti pagi hari
kerja, di mana orang yang duduk di kursi sambil tidur, atau pura-pura tidur,
dan yang berdiri pun bisa tidur. Saya duduk di kursi dan sesekali memperhatikan
kakek. Sang kakek duduk di kursinya, namun sorot matanya mengarah ke tempat
duduk saya. Sorot matanya kosong, saya tidak yakin dia dapat melihat saya
dengan jelas. Dua puluh lima menit kemudian kereta tiba di Stasiun Duri. Sebelum
kereta berhenti, saya menghampiri kakek dan duduk di sebelahnya.
“Kek, kita sudah mau sampai,
kakek ikut saya ya..” ujar saya. Saya memegang lengan kakek, dan kakek
mengikuti saya berdiri. Pada saat kereta sudah benar-benar berhenti, saya
melangkah bersama kakek. Saya menuntun kakek dengan pelan dan hati-hati,
melewati celah peron dengan kereta, berjalan menuruni tangga, dan menyebrang
rel kerta menuju jalur 1. Ada rasa bahagia saya bisa bertemu lagi dengan kakek
dalam keadaan saya dapat menolongnya.
Hingga sampai di jalur satu ada
seorang ibu mendekati saya dan berkata, “kakek ini mau ke mana?” saya melihat ke
arah ibu.
“Kakek mau ke stasiun Jakarta
Kota, bu.. tapi saya beda arah, saya mau ke Manggarai, “ Jawab saya.
“Yasudah, kakeknya biar saya yang
tuntun..” kata si ibu sambil senyum.
“Wah terima kasih bu..” ujar
saya, lalu saya berkata pada kakek, “Kakek, saya hanya bisa mengantar sampai
sini ya.. kakek selanjuntnya sama ibu ini.. maaf ya kek..”
Si kakek tersenyum dan
mengangguk, “iya nak, terima kasih ya..” jawabnya.
“Kakek hati-hati ya..” kata saya.
Si kakek mengangguk dan masih tersenyum. Saya lalu berpamitan dengan kakek dan
si ibu, kemudian kembali menyebrang rel menuju jalur 2. Tak lama, kereta menuju
Manggarai (kereta yang saya mau naiki) tiba terlebih dahulu, saya tidak sempat
melihat kakek dan ibu lagi karena pandangan sudah tertutup badan kereta. Disitulah
terakhir saya bertemu kakek.
Di jalan saya merasa bersyukur
dapat kesempatan bertemu kakek, walaupun saya hanya bisa menolong sedikit, saya
juga tahu kapasitas saya. Mungkin saya tidak bisa membantu lebih, tapi
setidaknya apa yang bisa saya lakukan saat itu, saya akan lakukan.
Saya tidak menyangka, karena saya
ketinggalan kereta saya bisa bertemu si kakek. Mungkin jika saya tidak bertemu
kakek, saya akan ngedumel karena nyesek ketinggalan kereta dan pasti akan
telat. Saya justru merasa bahagia karena bisa membantu walaupun hanya sedikit. Sampai
di staisun Duri pun ketakutan saya akan perjalanan Kakek hilang karena ada
tawaran bantuan dari seorang ibu-ibu baik hati. Niat baik pasti ada jalannya
haha!
Lantas, apa makna dari cerita
ini? Yah, saya belajar untuk tidak menunda-nunda perbuatan baik. Jika memang
kita bisa bantu, mengapa harus ditunda. Terkadang rasa segan, gengsi, malas,
atau bahkan tidak peduli sering saya lakukan. Tapi saya tahu itu tidak baik. Kembali,
si kakek mengingatkan saya untuk tidak boleh menunda perbuatan baik. Kesempatan
pertama saya tunda, namun tidak boleh di kesempatan kedua. Mengapa saya harus
bertemu si kakek kedua kalinya, di kala hanya kami berdua saja di stasiun? Mungkin
karena memang saya harus ikut membantunya. Dan saya benar-benar bersyukur.
“Janganlah kita jemu-jemu berbuat
baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika tidak kita
akan menjadi lemah” (Galatia 6:9)
Iin serius aku crying.. wkwkwk
BalasHapusHahaha masa din? Ih aku jd terharu hehehe
HapusIin serius aku crying.. wkwkwk
BalasHapus