Menulis karena sedang belajar. Karena saya tidak bisa belajar tanpa menulis.

Rabu, 14 Oktober 2015

Sudah hampir dua tahun saya hidup sebagai masyarakat commuter. Mungkin ada yang belum memahami apa itu masyarakat commuter? Nah, kira-kira pengertiannya adalah masyarakat yang tinggal di wilayah hinter land Ibu Kota Jakarta, yaitu (Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, dan Bogor), namun melakukan aktivitas (pada hari kerja) di Jakarta pada siang hari. Umumnya masyarakat commuter lebih memilih menggunakan transportasi Commuter Line (KRL Jabodetabek), mereka akan berangkat pagi, dan kembali ke wilayah mereka di malam hari. Nah, kira-kira hal inilah yang membuat jumlah penduduk Jakarta berbeda pada siang hari dan malam hari. Berdasarkan salah satu buku yang saya baca yaitu buku “Mengapa Jakarta Banjir?” terbitan Tim Mirah Sakethi tahun 2009 (dapat diakses di website BPBD Jakarta), jumlah penduduk di Jakarta pada malam hari (penduduk asli Jakarta) berjumlah 9 juta jiwa. Pada siang hari, jumlah penduduk membludak menjadi 14 juta jiwa (karena sudah ditambah masyarakat commuter).  Nah, saya kemungkinan besar belum termasuk dalam 14 juta jiwa ini, haha.. karena ini data tahun 2009. Pastinya, tahun 2015 jumlahnya semakin besar! (maafkan saya, sedang malas mencari datanya).

Layaknya masyarakat commuter, saya berangkat pagi-pagi dari lokasi tempat tinggal saya yaitu Kota Tangerang menuju Jakarta untuk kuliah. Berangkat di jadwal kereta yang sama hampir tiap harinya membuat saya hampir tahu wajah-wajah yang sering berangkat bersama saya dalam gerbong yang sama. Perjalanan saya dimulai dari Stasiun Batu Ceper (stasiun terdekat dari rumah), menuju Stasiun Duri, lalu saya transit (pindah kereta) menuju Stasiun Manggarai. Hampir setiap hari kerja seperti itu.
Suatu ketika di pagi hari (pada saat itu saya semester 2, tulisan ini dibuat saat saya sudah semester 4), saya berangkat menuju kampus, dan saya merasa menjadi orang paling bodoh dan tolol. Pada saat saya sudah berangkat dan sampai di stasiun duri untuk menunggu kereta transit, saya melihat ada seorang kakek tua berjalan melintasi rel karena ingin berpindah jalur. Sepertinya kakek tua ini tadi berangkat naik kereta yang sama dengan saya dari Tangerang, dan hendak berpindah ke jalur 1 (pada saat itu saya sedang menunggu kereta transit saya di jalur 2).

Kakek tua ini sepertinya sudah tidak bisa melihat dengan normal. Beliau menggunakan tongkat untuk membantu menuntun dirinya sendiri agar tidak menabrak sesuatu yang tak bisa dilihatnya. Tahukah apa yang ada dipikiran saya saat itu? Saya berpikir “separah itu kah orang-orang di stasiun ini, tidak ada yang mau membantu menuntun si kakek? Bahkan petugas pun tidak ada?” Sekilas saya melihat orang-orang di sekitar saya juga melihat hal yang sama, sebersik saya mendengar seorang ibu bergumam “kasian kakek itu ga ada yang nolongin”, beberapa hanya melihat dengan tampang iba. Catat tampang iba, but no action!

Dan tahukah, saya langsung menyadari saya adalah salah satu dari mereka semua yang di stasiun! Saya adalah salah satu bagian dari orang-orang bodoh dan tolol yang hanya melihat, tanpa membantu! Apa yang ada dipikiran saya saat itu? Apa yang ada dipikiran saya sehingga membuat badan kaku dan berpikir terlalu panjang untuk menolong orang lain. Entahlah, saya baru menyadari betapa bodohnya saya tepat pada saat sang kakek sudah mencapai jalur 1, padahal cara berjalan sang kakek sangat pelan, ya pelaan sekali, karena keterbatasan fisiknya. Saya tidak akan pernah melupakan kebodohan saya di hari itu. Hingga pada saat kereta transit saya datang dan saya naik ke dalam kereta, saya bergumam dalam hati minta ampun pada Tuhan atas kebodohan saya, berjanji tidak perlu segan untuk menolong orang yang memang perlu bantuan, terutama orang tersebut ada di depan mata saya.

Hari berlalu, dan tidak terasa saya sudah memasuki semester 3. Dia awal semester, saya terjebak menjadi bagian dalam kepengurusan himpunan mahasiswa (himma) program studi. Program pertama yang diadakan adalah kuliah umum dan penyambutan mahasiswa baru S2 dan S3. Acara itu diadakan pada hari Sabtu (saya lupa tanggalnya) sekitar pertengahan Februari 2015. Acara dimulai pukul 07.00 WIB, dan saya sebagai panitia harus hadir paling lambat pukul 06.30 WIB. Perjalanan dari rumah ke kampus (tentunya dengan menggunakan kereta) memakan waktu sekitar 1,5 jam, berarti saya harus berangkat dari rumah pukul 05.00, dan kereta pertama dari Stasiun Batu Ceper ada pukul 05.20. Malam harinya Bapa saya sudah menawarkan diri untuk mengantarkan saya ke stasiun dan saya menerima tawaran itu.

Nah, lucunya, sampai pukul 01.00, saya belum bisa tidur. Kalian tahu karena apa? Masih ingat fenomena gaun biru hitam dan gaun putih emas? Ya! Haha gara-gara si gaun itu, saya sibuk berdebat dengan teman-teman saya di beberapa grup yang ada di akun Whatsapp dan Line saya, hahaha. Alhasil, saya bangun telat, dan mungkin tidak akan bangun jika tidak dibangunkan Bapa saya.

“Boru, gak jadi kau berangkat? Ini udah jam 5..” sapa Bapa saya lembut.

Saya membuka mata dan melotot saat melihat jam di handphone menunjukkan pukul 04.55. Oh my God! Kereta pertama jam 5.20! Cadas! Refleks, saya langsung siap-siap mandi koboy, dan berhasil berangkat keluar dari rumah pukul 5.15. Bapa saya mengantarkan saya dengan menggunakan motor menuju stasiun. Pada saat kami sedang melewati jalan raya yang memang bersebelahan dengan rel, tiba-tiba kereta yang akan saya naiki melintas, dan saya langsung memohon Bapa saya untuk mempercepat laju motor. Namun, apalah arti kecepatan motor matic 110cc dibanding dengan kecepatan kereta listrik! Aissh! Dan saya sampai di depan stasiun dengan menatap kepergian kereta 5.20 yang hendak saya naiki. Nasib, dan saya pun terpaksa menunggu kedatangan kereta selanjutnya pukul 5.50.

Setelah saya berpamitan dengan Bapa, saya masuk menuju gate. Saya langsung masuk ke peron dan duduk di kursi tunggu. Hanya saya sendiri di peron, dan sangat sepi, karena hari itu hari Sabtu (bukan hari kerja), para warga commuter pasti akan lebih memilih menikmati tidur hingga siang, melampiaskan kelelahan bekerja selama 5 hari. Sambil mencoba mengeluarkan handphone dan memasang headset ke telinga, saya tidak sengaja melihat ke arah gate, seorang kakek tua berjalan dengan menggunakan tongkatnya menuju peron. Saya melihat sebentar lalu menoleh ke arah lain (mungkin saat itu saya belum sadar). Sang kakek sedang dituntun petugas, namun hanya sebentar, si petugas kembali ke kursi singgasananya, dan sang kakek berjalan mendekati saya.

Sang kakek berjalan dengan pelan, dan saya kembali melihat ke arahnya. Dan, oh my God! Saya baru sadar, beliau adalah sang kakek yang saya lihat beberapa waktu lalu di Stasiun Duri itu. Ya, saya yakin, saya tidak salah. Saya adalah pengingat (memori) yang baik. Saya tidak pernah menyangka diberikan kesempatan bertemu dengan sang kakek, saya ingin menebus kebodohan yang sudah saya lakukan sebelumnya, walaupun kebodohan yang saya lakukan dulu tidak akan mungkin bisa ditebus dengan apa saja yang saya lakukan. Saya langsung memasukkan handphone dan headset ke tas, kemudian menghampiri kakek.

“Pagi kek, saya bantu ya..” sapa saya langsung kepada kakek. Si Kakek tersenyum, matanya sangat sayu, garis keriput di wajahnya tertarik urat-urat wajahnya kerena iya tersenyum. Senyumnya tidak lebar, tapi saya tahu, beliau tersenyum. Saya memegang lengannya, dan menuntunnya ke kursi tunggu.

“Kakek mau ke mana?” tanya saya. Beliau terlihat seperti berusaha melihat wajah saya. Saat itu cahaya matahari masih remang-remang, dan lampu stasiun tidak begitu terang.

“Saya mau ke Jakarta Kota, nak,” Jawab kakek. Matanya seperti ingin melihat saya, tapi sorot matanya tidak mendapatkan wajah saya. Beliau seperti melihat ke arah lain.  

“Kakek sendiri?” tanya saya. Beliau mengangguk.

“Nak mau kemana?” tanya beliau balik.

“Kita berbeda arah kek..saya mau ke Manggarai kek..  tapi nanti saya akan antarkan Kakek ke Jalur Jakarta Kota,” jawab saya. Dari duri, kereta menuju Jakarta Kota terdekat harus menggunakan kereta yang ke arah stasiun Kampung Bandan. Dari sana, beliau harus transit lagi menuju kereta Jakarta Kota. Sebenarnya saya sangat ingin mengantarnya, namun saya mengingat kewajiban utama saya yang harus saya kerjakan di kampus, dan saya juga sedang dikejar waktu. Tapi saya yakin, walaupun saya tidak bisa menolong si kakek sampai pada tujuannya, saya pasti bisa membantunya walaupun hanya sedikit.

Beberapa saat kami berdua terdiam. Tiba-tiba beliau mengeluarkan satu lembar uang Rp 10.000 dan dua lembar uang Rp 2.000, kemudian memanggil saya.

“Nak, mata saya tidak bisa melihat dengan jelas, ini uang yang ada di tangan saya ada berapa?” Tanya beliau.

“Oh, yang ini Rp 10.000 kek,“ jawab saya memegang uang sepuluh ribu dan menaruhnya di tangan kirinya, “kalau yang ini dua-duanya Rp 2.000 kek..” lanjut saya meletakkan uang itu di tangan kanannya.

Mata sang kakek memandang kosong dan mengangguk-angguk, “ini Rp 10.000,” ia menggerakkan tangan kirinya, “ini Rp 2.000,” ia lalu menggerakkan tangan kanannya.

“Iya kek..” sahut saya. Kemudian saya melihat si kakek memasukkan uang-uang itu ke masing-masing saku celananya kiri dan kanan. Saya berpikir, apakah si kakek hanya mengantongi uang segitu? Dan ia mau ke Jakarta. Saya hanya bisa diam, bingung, ingin bertanya lebih tapi saya takut menyinggung perasaaanya. Tindakan saya jika tiba-tiba memberi uang kepadanya juga tidak bisa dikatakan bijaksana. Saya lebih memilih diam dan memutuskan untuk melakukan permintaan tolong apa yang diujarkannya.

“Kakek ke Jakarta mau ngapain, kek?” Tanya saya.

“Mau ada kerjaan..” jawabnya sambil tertawa kecil. Saya bingung, apa yang akan dikerjakan kakek? Saya ingin bertanya lagi, tapi saya takut lancang.  Kami berdua lalu terdiam, tapi banyak pertanyaan muncul di kepala saya.

Beberapa saat kemudian, pengumuman stasiun menyiarkan kereta tujuan Duri akan segera masuk di jalur 2. Mengingat langkah kakek yang sangat pelan, saya lalu memegang lengan kakek.

“Kek, yuk kita jalan ke depanan, keretanya sebentar lagi sampai, kakek pegang tangan saya saja ya..saya tuntun kakek..” kata saya, dan kakek tersenyum.
Tak lama kereta datang, dan pintu kereta terbuka di depan kami. Saya menuntuk kakek dengan pelan..beliau memegang lengan saya erat, dan saya memegang lengannya. Tangannya yang satu memegang tongkat. Saat kami sudah masuk, saya langsung menuntunnya ke arah kursi prioritas di pojok gerbong. Saya mempersilahkan beliau duduk di sana.

“Kakek, kakek duduk di sini ya, ini kursi prioritas kek, saya lebih pantas duduk di kursi yang sebelah sana,” tunjuk saya kea rah kursi kosong yang tidak jauh dari kursi prioritas, berharap mata sang kakek setidaknya dapat melihat arah jari saya. “Saya tetap duduk di dekat kakek, saya akan perhatikan kakek, nanti pas sudah mau turun saya akan datang ke kakek ya..” ujar saya. Sang kakek tersenyum dan mengangguk. Saya sudah lama memilih tidak duduk di kursi prioritas jika kursi-kursi yang lain kosong, karena kursi itu bukan hak saya, itulah saya memilih untuk tidak duduk bersebelahan dengan kakek.

Saya berjalan duduk di kursi yang tidak jauh dari kakek. Kereta pagi itu tidak ramai, tidak seperti pagi hari kerja, di mana orang yang duduk di kursi sambil tidur, atau pura-pura tidur, dan yang berdiri pun bisa tidur. Saya duduk di kursi dan sesekali memperhatikan kakek. Sang kakek duduk di kursinya, namun sorot matanya mengarah ke tempat duduk saya. Sorot matanya kosong, saya tidak yakin dia dapat melihat saya dengan jelas. Dua puluh lima menit kemudian kereta tiba di Stasiun Duri. Sebelum kereta berhenti, saya menghampiri kakek dan duduk di sebelahnya.

“Kek, kita sudah mau sampai, kakek ikut saya ya..” ujar saya. Saya memegang lengan kakek, dan kakek mengikuti saya berdiri. Pada saat kereta sudah benar-benar berhenti, saya melangkah bersama kakek. Saya menuntun kakek dengan pelan dan hati-hati, melewati celah peron dengan kereta, berjalan menuruni tangga, dan menyebrang rel kerta menuju jalur 1. Ada rasa bahagia saya bisa bertemu lagi dengan kakek dalam keadaan saya dapat menolongnya.
Hingga sampai di jalur satu ada seorang ibu mendekati saya dan berkata, “kakek ini mau ke mana?” saya melihat ke arah ibu.

“Kakek mau ke stasiun Jakarta Kota, bu.. tapi saya beda arah, saya mau ke Manggarai, “ Jawab saya.

“Yasudah, kakeknya biar saya yang tuntun..” kata si ibu sambil senyum.

“Wah terima kasih bu..” ujar saya, lalu saya berkata pada kakek, “Kakek, saya hanya bisa mengantar sampai sini ya.. kakek selanjuntnya sama ibu ini.. maaf ya kek..”

Si kakek tersenyum dan mengangguk, “iya nak, terima kasih ya..” jawabnya.

“Kakek hati-hati ya..” kata saya. Si kakek mengangguk dan masih tersenyum. Saya lalu berpamitan dengan kakek dan si ibu, kemudian kembali menyebrang rel menuju jalur 2. Tak lama, kereta menuju Manggarai (kereta yang saya mau naiki) tiba terlebih dahulu, saya tidak sempat melihat kakek dan ibu lagi karena pandangan sudah tertutup badan kereta. Disitulah terakhir saya bertemu kakek.

Di jalan saya merasa bersyukur dapat kesempatan bertemu kakek, walaupun saya hanya bisa menolong sedikit, saya juga tahu kapasitas saya. Mungkin saya tidak bisa membantu lebih, tapi setidaknya apa yang bisa saya lakukan saat itu, saya akan lakukan.
Saya tidak menyangka, karena saya ketinggalan kereta saya bisa bertemu si kakek. Mungkin jika saya tidak bertemu kakek, saya akan ngedumel karena nyesek ketinggalan kereta dan pasti akan telat. Saya justru merasa bahagia karena bisa membantu walaupun hanya sedikit. Sampai di staisun Duri pun ketakutan saya akan perjalanan Kakek hilang karena ada tawaran bantuan dari seorang ibu-ibu baik hati. Niat baik pasti ada jalannya haha!

Lantas, apa makna dari cerita ini? Yah, saya belajar untuk tidak menunda-nunda perbuatan baik. Jika memang kita bisa bantu, mengapa harus ditunda. Terkadang rasa segan, gengsi, malas, atau bahkan tidak peduli sering saya lakukan. Tapi saya tahu itu tidak baik. Kembali, si kakek mengingatkan saya untuk tidak boleh menunda perbuatan baik. Kesempatan pertama saya tunda, namun tidak boleh di kesempatan kedua. Mengapa saya harus bertemu si kakek kedua kalinya, di kala hanya kami berdua saja di stasiun? Mungkin karena memang saya harus ikut membantunya. Dan saya benar-benar bersyukur.


“Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika tidak kita akan menjadi lemah” (Galatia 6:9)

3 komentar :

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang ambievert -- Bercita-cita dapat mengunjungi 35 Provinsi di Indonesia --Belajar menjadi environmentalist tapi masih sulit untuk hemat energi (namanya juga tahap belajar) -- Sarjana Ekonomi namun tidak begitu paham khatam ekonomi -- penggila senja dan pengagum langit biru -- sangat menyukai perjalanan darat -- tak pernah berhenti kagum atas karya Pencipta alam yang ada di bumi -- Environmental Science, University of Indonesia 2014 (Master degree) -- Resource and Environmental Economics, Bogor Agricultural University 2009-2013 (Bachelor Degree) -- SMAN 5 Bengkulu -- Christian -- I just wanna be a good Indonesian

Popular Posts