Menulis karena sedang belajar. Karena saya tidak bisa belajar tanpa menulis.

Kamis, 28 Oktober 2010


Hampir setiap tulisan pasti saya awali dengan kata-kata “sudah lama saya tidak menulis.” Kali ini saya juga mengawali tulisan ini dengan kata-kata “yah..sudah lama saya tidak menulis.” Bukan karena apa-apa tapi memang karena saya pemalas. Ok, kembali ke tulisan yang sebanrnya.
Judul yang terlalu berat saya pilih untuk tulisan yang sangat sederhana. Hanya sebuah ulasan cerita mengapa saya berdiri di tempat ini sekarang. Maksud kata berdiri di sini bukan berdiri dalam keadaan tubuh tegak seperti upacara bendera (berhubung posisi saya sekarang sedang duduk di kamar kosan dan berhadapan dengan laptop), tetapi mengapa saya bisa ada di tempat saya berada sekarang dengan berstatuskan mahasiswa ekonomi.
Kalo soal cita-cita, dari kecil entah mengapa saya sangat tertarik sekali menjawab pertanyaan dengan kata-kata “jadi arsitek” jika ada yang menanyakan “mau jadi apa nanti?” Saya sangat suka menggambar. Yah, walaupun tidak sebagus gambar Picasso ataupun gambar teman-teman saya memang berbakat. Tapi setidaknya orang tidak langsung mengerutkan keningnya ketika melihat gambar anak anjing yang saya buat dan tidak mengira itu malah tikus sedang sekarat.
Hingga SMP sampai SMA, saya masih mengantungi keyakinan bahwa saya akan menjadi arsitek. Cita-cita menjadi arsitek tidak membatasi keinginan saya agar membuat plan B untuk ke depannya jika plan A tidak tercapai. Maka dari itu, dunia komunikasi menarik perhatian saya untuk dinominasikan ke dalam plan B. SMA adalah penentunya. Saya tak tahu, yang salah ada di saya yang terlalu meremehkannya atau jalan saya memang bukan di plan A atau plan B yang sudah saya buat.
Di mulai dari penjurusan ilmu alam atau ilmu sosial ketika naik ke kelas XI. Tersugesti dari keinginan orang tua saya yang ingin saya berada di ilmu alam, karena menurut mereka ilmu alam lebih baik dari pada ilmu sosial dan ilmu alam bisa masuk ke semua bidang. Saya pun menuruti keinginan mereka. Tapi perlu diketahui, saya tidak pernah manyatakan pada wali kelas saya ketika kelas X ataupun kepada guru BP saya, bahwa saya bersikeras ingin masuk ke jurusan ilmu alam. Hingga pembagian rapor semester dua kelas X di situ tercantum saya masuk ke jurusan ilmu alam. Sepertinya karena nilai saya yang tidak terlalu excellent memang mencukupi untuk masuk ke ilmu alam.
Yang saya ingat ketika hari pembagian rapor itu adalah cukup banyak teman-teman saya yang menangis ingin masuk ke jurusan ilmu alam, sedangkan di rapor mereka tercantum bahwa mereka harus masuk ke ilmu sosial. Beberapa di antara mereka ada yang akhirnya pasrah dan ada yang masih bersikeras harus sesuai dengan keinginan mereka.  Mereka yang masih kekeuh pun memanggil orang tuanya untuk memohon ke wali kelas atau ke sekolah. Tetapi di antara banyak anak-anak yang benar-benar berminat masuk ilmu alam, ada juga anak-anak yang memang sudah berminat masuk ke ilmu sosial. Padahal jika di lihat, nilai mereka juga cukup untuk masuk ke ilmu alam. Beberapa hari setelah hari itu, saya mendapat info mereka yang benar-benar ingin masuk ilmu alam, tetapi di rapor tercantum harus masuk ilmu sosial sudah mendapatkan kursi di kelas jurusan ilmu alam.
Selang waktu kemudian, mengingat kejadian pemilihan jurusan, saya pun mengambil kesimpulan bahwa banyak sekali orang-orang yang mendewakan jurusan ilmu alam. Baik itu sekolah saya, sebagian besar teman saya, dan keluarga saya. Dan saya? Yah, saat itu saya di bawah pengaruh orang tua saya, saya juga ikut mendewakan jurusan ilmu alam. Betapa sangat hebatnya orang jika masuk ke dunia ilmu alam. Seperti mengikuti jejak Albert Einstein.
Menurut saya, sekolah saya juga pada saat itu sepertinya lebih mengutamakan kelas-kelas jurusan ilmu alam dari pada kelas ilmu sosial. Seolah-olah kelas ilmu sosial didiskriminasikan karena rata-rata anak-anak yang ada di dalamnya “agak berbeda”. Tapi perlu di ketahui, tanpa anak-anak yang “agak berbeda” seperti mereka, tidak akan ada kenakalan masa SMA yang menjadi kocak dan sangat lucu jika diingat.
Kembali ke saya yang sudah mendapatkan kursi di kelas ilmu alam. Pada kelas XI, itu adalah masa berjayanya putih abu-abu. Bisa dikatakan, dalam waktu setahun itu adalah periode keaktifan dan kenakalan saya. Saya mulai ikut banyak kegiatan, seperti organisasi dan kepanitiaan. Pemikiran “masa SMA itu indah dan nikmatilah” membuat saya tidak menyeimbangkan waktu bermain dan belajar. Seolah saya lupa bahwa baju putih abu-abu yang selalu saya gunakan tiap senin sampai kamis adalah tanda bahwa saya adalah pelajar. Dan hasilnya cukup mengejutkan, saya yang dulu kelas X berhasil memasuki peringkat 3 besar di kelas, langsung merosot ke peringkat 25.
Dan tahu apa yang saya rasakan ketika saya mendapatkan peringkat 25? Saya malah menikmatinya. Saya sedih, tapi langsung tertutupi dengan persepsi “masa hidup di atas-atas mulu..” ini SMA, nikmatilah! Ketika orang tua saya meminta pertanggung jawaban peringkat saya, dengan santai saya menjawab karena saya ketinggalan pelajaran selama sakit. Memang saat semester ganjil kelas XI saya sempat sakit dua minggu lebih dan bahkan harus diopname di rumah sakit.
Dan ternyata saudara-saudara, semester genap juga tidak terjadi perubahan yang dratis. Peringkat saya hanya naik empat tangga dari posisi semula, alias peringkat ke 21. Hahahhaa betapa bodohnya saya saat itu. Faktanya, saya bersikap santai saja, dan menikmati semuanya. Tapi satu hal yang perlu diketahui, saya tidak pernah menyalahkan kesibukan saya di kelas XI ataupun kenakalan saya. Namun, ada banyak pelajaran dan keuntungan yang sulit didefinisikan yang saya dapat dari situ.
Hingga naik ke kelas XII. Masa-masa kritis. Penentu. Tapi yang saya nikmati di masa ini, permainan kenakalan SMA tetap selalu menghiasi. Tapi saya sudah mulai mengontrol keseriusan. Berbagai bimbingan belajar hingga les privat saya ikuti. Dan saya pun mendapat tantangan istimewa dari orang tua saya, keputusan saya adalah menerimanya. Berbagai pilihan jurusan dan bermacam-macam perguruan tinggi negeri maupun swasta memperbanyak pilihan.
Kembali mengingat plan A dan plan B yang saya buat, saya meyakinkan diri saya. Setiap rencana yang saya buat tidak berjalan seperti yang saya inginkan begitu saja. Orang tua saya sangat ingin saya menjadi dokter. Ok, mungkin bukan saya saya yang bernasib seperti ini. Tapi percayalah, saya sangat-sangat tidak menikmati keadaan ini. Apa lagi jika mendengar beliau mengatakan, “aduh..enak sekali kalo punya anak dokter, lulus langsung kerja, gak usah repot-repot cari kerja…kalo kita tua ada yang urusin.” Apalagi mengingat mereka bersedia menghabiskan uang mereka untuk saya masuk kedokteran swasta jika memang saya tidak jebol di setiap PTN. Rasanya saya ingin berteriak, “ma…pa…tahukah kalian saya sangat benci pelajaran BIOLOGI???!!!!”
Saya sangat ingin melanjutkan plan A saya di salah satu PTN di Jogja. Tapi pemikiran itu langsung diruntuhkan oleh orang tua saya. Mereka sangat tidak setuju jika saya di sana. Mengingat letaknya yang terlalu jauh dengan kota asal saya. Kemudian entah ada angin atau badai dari mana, keinginan saya seolah-olah dimatikan oleh salah satu anggota keluarga saya yang saya percayai. Dan pilihan yang langsung diserang adalah si plan A. Seperti terhipnotis, saya langsung mengubur dalam-dalam keinginan saya menjadi arsitek. Dan menggantikan posisi arsitektur dengan informatika ke dalam plan A.
Undangan PMDK dan ujian sarinagn masuk mulai berdatangan. Saya sangat aktif dan jeli terhadap info-info seperti ini. Saya mengikuti berbagai ujian saringan masuk. Ujian pertama yang saya ikuti adalah ujian masuk salah satu institut teknologi swasta yang mempunyai ikatan dinas dengan perusahaan telekomunikasi di Bandung. Tentu saja saya menembak plan A saya yang sudah saya ubah untuk institut tersebut. Tapi ternyata, Tuhan menjawab lain. Saya tidak berhasil mendapatkan kursi di institusi tersebut.
Yeah! Saya ternyata tidak melupakan plan B saya. Komunikasi. Saya lalu mencari info undangan PMDK PTN yang masuk ke sekolah dan berhubungan dengan plan B saya. Tapi seolah-olah ada gunting yang memotong-motong tali penyambung plan B saya. Persyaratan yang harus dimiliki untuk mengambil jurusan komunikasi adalah berasal dari kelas ilmu sosial. Sedangkan saya “secara tidak sengaja” duduk di kursi ilmu alam. Pupus sudah harapan.
Tidak jauh dari masa periode pencarian perguruan tinggi, saya dan banyak teman-teman saya mengikuti tes ujian saringan masuk salah satu perguruan tinggi negeri favorit di depok. Ok, dalam tes ini, saya memberanikan diri mengambil soal Ilmu Pengetahuan Campuran agar pilihan plan A dan plan B saya bisa benar-benar nyata di pilih. Dengan bermodalkan otak yang pas-pasan di bidang ilmu alam dan pengetahuan dangkal di ilmu sosial, pupuslah sudah kata lulus setelah tes berakhir. Dan saya tidak pernah menanti-nantikan pengumumannya, karena saya memang sudah pesimis. Ternyata memang benar, saya tidak lulus.
Saya bingung. Seolah-olah saya ingin menagih janji kata orang-orang, bahwa ilmu alam bisa di terima di mana saja. Mana buktinya! Saya tidak bisa menembus plan B saya! Bahkan plan A saya pun tak tercapai, padahal sudah sejalan dengan ilmu yang saya pelajari selama dua tahun terakhir. Hingga keluarlah undangan PMDK dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Bogor. Isu-isu banyak mengatakan, PTN ini membuka gerbangnya lebar-lebar untuk siswa sekolah saya karena salah satu alumni sekolah saya yang pada saat itu menjadi mahasiswa di sana berhasil menjadi Mahasiswa Berprestasi tingkat Nasional. Dan lagi, PTN ini menghargai setiap piagam akademik maupun non akademik seperti organisasi dan lain-lain. Dengan bermodalkan beberapa piagam dan nilai rapor yang tidak terlalu excellent bahkan sempat jeblok di kelas XI saya mengambil formulir itu.
Tahukah, yang ada di pikiran saya saat itu adalah yang penting dapat pegangan perguruan tinggi. Kemudian saya melihat list jurusan apa saja yang ada di PTN tersebut. OH MY GOD! Betapa aneh-anehnya jurusan-jurusan di PTN ini? Tapi yang saya ketahui, jurusan yang berkaitan dengan plan A, mantan plan A dan plan B saya ada semua di PTN ini. Tanpa saya harus menyalahkan diri saya yang labil dan plin-plan. Ada terbersit di pikiran untuk menarik lagi keinginan saya menjadi arsitek, berhubung PTN ini menawarkan arsitektur yang berhubungan dengan taman. Tapi saya langsug menguburnya kembali, mengingat serangan-serangan mematikan dari saudaraku waktu itu.
Kemudian, saya juga melihat ada jurusan yang berhubungan dengan plan B saya. Tapi yang ini sedikit berbeda, namanya yang sedikit panjang yaitu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Saya lalu mendiskusikannya lagi dengan saudara saya, dia berpendapat pilih saja jurusan lain. Ok, plan B…saya tidak berani memasukkan engkau di pilihan PTN ini.
Dan yang saya lalu memasukkan plan A saya di pilihan pertama, dan jurusan yang tidak pernah terbersit di pikiran saya sebelumnya, tetapi sangat berhubungan dengan ilmu sosial. Beberapa bulan kemudian, terkoarlah di sekolah, saya dan beberapa teman-teman saya berhasil mendapatkan kursi di PTN Bogor tersebut. Yang dapat saya simpulkan adalah tidak ada plan A maupun plan B di kursi yang saya dapatkan. Dan pasti tidak ada pilihan keinginan orang tua saya. Yang ada hanya pilihan dan PTN tersebut, yaitu ekonomi sumber daya lingkungan. Ok, impian jangka pendek saya tercapai, “yang penting dapat pegangan PTN.”
Hingga saya mengikuti beberapa ujian saringan masuk perguruan tinggi lain dan mengirimkan lamaran PMDK ke tempat lain, ternyata saya juga tidak diterima. Sepertinya hanya PTN Bogor ini yang menerima saya. Yah..mengingat pesan dari sekolah supaya jangan menolak undangan dari PTN Bogor ini agar kuota untuk adik kelas tahun depan tidak dikurangi, saya pun membuka hati saya untuk PTN ini dengan jurusan yang tidak pernah ada di pikiran saya sebelumnya. Tidak tahu harus sedih atau senang.
Hingga sekarang saya berada di sini. Di lingkungan PTN Bogor dengan berbagai macam plesetan singkatan yang menjadi ciri khas (yang mengerti pasti tahu). Pertama-tama saya bingung, apakah ini merupakan suatu kesalahan saya yang tidak mau bersikeras dengan plan A yang suah saya inginkan dari kecil, atau kesalahan pemahaman saat pemilihan jurusan ilmu alam atau ilmu sosial di kelas X.
Tapi satu hal, jika saya masih menyalahkan kebodohan saya di masa lalu saya tidak akan maju. Dan yang harus dilakukan sekarang? Apa? Menikmati si bukan plan A, si bukan plan B, si bukan mantan plan A, ataupun si bukan pilihan orang tua saya? Jawabannya ada di diri saya sendiri. Ada di kemauan saya sendiri apakah saya mau mencapai mimpi-mimpi saya yang harus tiba-tiba berubah haluan. Ada di kemauan saya yang belajar untuk berhenti mengasihani hidup sendiri. Ada di kemuan saya untuk tidak menyalahkan masa lalu. Dan ada di kemauan saya untuk tidak berhenti mengeluarkan kata “saya menyesal”. Serta ada di kemauan diri saya untuk berhenti menyalahkan diri sendiri. Semuanya dalam proses belajar. Proses belajar mengarahkan hidup ke yang lebih baik dan melakukan yang terbaik. Mari belajar!

0 komentar :

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang ambievert -- Bercita-cita dapat mengunjungi 35 Provinsi di Indonesia --Belajar menjadi environmentalist tapi masih sulit untuk hemat energi (namanya juga tahap belajar) -- Sarjana Ekonomi namun tidak begitu paham khatam ekonomi -- penggila senja dan pengagum langit biru -- sangat menyukai perjalanan darat -- tak pernah berhenti kagum atas karya Pencipta alam yang ada di bumi -- Environmental Science, University of Indonesia 2014 (Master degree) -- Resource and Environmental Economics, Bogor Agricultural University 2009-2013 (Bachelor Degree) -- SMAN 5 Bengkulu -- Christian -- I just wanna be a good Indonesian

Popular Posts