Menulis karena sedang belajar. Karena saya tidak bisa belajar tanpa menulis.

Sabtu, 08 Maret 2014

Terakhir saya menulis setahun yang lalu, dan ini adalah tulisan pertama saya di tahun 2014.

“Siapa pun dia yang banyak dibicarakan orang sekarang, saya tidak mengenal dia. Berita tentang dia menjadi highlight di berbagai media informasi dan media sosial, dan saya tidak mengenal dia. Saya hanya tahu dia anak muda dengan kepribadian ceria dan baik. Sedih mendengar akhir hidupnya yang tragis. Salut melihat ketegaran orang tuanya dengan pengampunan yang tulus. Semoga Keluarga dan kerabat yang ditinggalkan dihiburkan dan semakin dikuatkan. Turut berduka cita atas kembalinya ke rumah Bapa, Ade Sara Angelina Suroto.” (Alsita 2013)

                Setiap pagi (Senin-Jumat), saya selalu berangkat ke kampus di daerah Salemba (tentunya jika ada kuliah). Perjalanan dari rumah ke kampus saya cukup jauh, memakan waktu 1,5 jam. Transpotasi commuterline Jabodetabek merupakan salah satu pilihan untuk mencapai kampus saya, mengingat rumah saya yang terletak di Tangerang. Stasiun tujuan saya adalah Stasiun Cikini. Dari stasiun saya berjalan kaki melintasi perkampungan dan Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) dalam waktu 15 menit (ini merupakan jalan pintas terdekat setelah saya beberapa kali melakukan eksperimen jalan), dan sampailah saya di kampus.
                Setiap berangkat kuliah, saya selalu melihat kehidupan di RSCM. Lintasan yang saya lewati tidak berubah jauh  tiap harinya. Lorong-lorong rumah sakit, berisi orang-orang berjas putih dengan langkah yang sangat cepat, orang-orang biasa yang berlalu lalang dengan berbagai kebutuhan yang berbeda, orang-orang yang duduk di kursi roda dengan wajah pucat, orang-orang yang hanya bisa tidur di tempat tidur dan tempat tidur tersebut dijalankan oleh para perawat,  keluarga pasien yang sedang menunggu (saya tak tahu apa yang mereka tunggu), dan lain sebagainya. Perjalanan saya terus menyusuri lorong, hingga berakhir di departemen forensik FK UI, kamar jenazah, dan rumah duka RSCM. Yah.. sebelum saya mencapai kampus saya, saya harus melewati itu. Terkadang pemandangan mata saya pun dihiasi dengan mobil jenazah yang mengangkut jenazah, serta wajah-wajah sedih keluarga atau kerabat yang sedang berduka.
                Suatu ketika, di pagi hari, saya melewati rumah duka tersebut. Rumah duka tidak terlalu ramai, tapi ada beberapa orang mengobrol di depannya. Mungkin ada yang baru saja meninggal, dan itu kerabatnya, pikir saya. Saya biasa saja, karena itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Keesokan harinya, saat pulang kuliah di siang hari, saya dan kedua teman saya seperti biasa kembali melintasi rumah duka. Terdapat banyak papan bunga duka cita berjejer di depan rumah duka. Hal itupun juga merupakan pemandangan biasa di mata saya. Namun, nama yang dituliskan di papan tersebut seperti pernah saya lihat atau dengar.
                Saya sempat berhenti di depan papan bunga tersebut, agak lama, memperhatikan nama yang tercantum. Hmm.. mungkin beliau anak seorang pejabat, melihat rumah duka yang terlihat ramai, pasti anak pejabat, pikir saya. Lalu saya dan kedua teman saya berjalan lagi. Beberapa hari memang saya jarang menonton berita atau membuka beberapa sosial media. Dan ketika saya sampai di rumah, saya menonton berita, saya langsung “ngeh” dengan nama yang tercantum di papan bunga tadi. Ternyata beliau adalah korban pembunuhan tragis dan beritanya benar-benar sangat menghebohkan berbagai media.
                Entah mengapa saya sedih sekali setiap saya melihat kronologis pembunuhan tersebut. Dalam hati saya merasa sangat kasihan dengan keluarga korban, dan tentu saya juga kasihan dengan kedua pelaku yang melakukan pembunuhan. Apa yang ada dipikiran mereka saat melakukan aksi tersebut? Mereka bertiga masih muda, masa depan mereka ada, mereka berada pada jenjang usia produktif dan emas, tetapi mengapa dua orang dari mereka tega melakukan dosa yang benar-benar keji dan satu orang di antara mereka harus menjadi korban dosa tersebut? Sebegitu parahkah karakter beberapa anak muda sekarang hingga rela membunuh teman sendiri?
                Saya tahu beberapa media terkadang melebih-lebihkan sebuah pemberitaan peristiwa atau apapun itu. Namun, di luar dari “melebih-lebihkan suatu berita”, saya sebagai salah seorang yang pernah terlibat dalam pelayanan pembinaan remaja (secara sukarela) benar-benar merasa sedih. Dari beberap berita yang saya baca, mereka melakukan aksi dengan TERENCANA, benar-benar menyiksa korban, dan dengan motif yang sangat kanak-kanak. Mereka bertindak selayaknya pelaku berdarah dingin, mengucapkan turut berduka, dan bahkan ikut melayat. Saya jadi penasaran dengan mereka, rasanya ingin mengulang kejadian di mana saya melewati rumah duka dan berharap bertemu mereka.
Di usia yang sangat belia, belum menyelesaikan kuliah, belum merasakan dunia kerja, belum mencapai cita-cita mereka (atau apa cita-cita mereka benar-benar ada?), tapi mereka sudah melakukan tindakan menghilangakn nyawa orang lain. Kembali saya mempertanyakan, apa yang ada di pikiran mereka? Separah itu kah kejiwaan mereka terganggu? Setidak matangkah itu kah karakter mereka? Betapa rendahkah mereka mengganggap nyawa seseorang? Apakah mereka tidak tahu beribu-ribu manusia di rumah sakit memperjuangkan nyawa agar tetap ada, namun mereka dengan mudahnya di usia yang sangat muda menghilangkan nyawa orang lain? Apakah mereka tidak memikirkan apa dampak dari tindakan mereka? Banyak pertanyaan muncul di kepala saya, terkhusus mengenai dua orang ini. Semoga mereka sadar atas apa yang mereka perbuat, dan semoga mereka tahu bahwa yang Maha Kuasa berduka atas tindakan mereka.
                Di sisi lain, saya sangat salut dengan orang tua korban. Dengan sangat tulus dan tegar mereka bahkan memaafkan pelaku. Saya mungkin belum pernah mengalami hal seperti mereka, ditinggalkan oleh orang yang sangat dikasihi. Namun, kurang lebih secara teori saya tahu betapa berat kesedihan yang dialami. Sungguh ini sebuah kekuatan luar biasa yang diberikan oleh Tuhan. Betapa mereka memiliki iman dan hubungan yang baik dengan Tuhan, sehingga mereka tahu apa yang harus mereka lakukan.
                Berita ini mungkin menjadi cambukan keras bagi kita semua. Memang masih banyak kasus lain yang terjadi selain kasus ini, tidak diberitakan secara nasional dan tidak berada pada bagian highlight. Namun kasus ini justru menjadi kesempatan kita untuk melakukan hal terbaik melalui peran kita masing-masing dalam membangun karakter pribadi, karakter anak muda, dan karakter bangsa. Kita bisa belajar dari pelaku, dari korban, dan dari orang tua yang ditinggalkan korban. Bagaimana menjadi orang tua yang mendidik anaknya, bagaimana menjadi anak muda dengan karakter yang dewasa, bagaimana menjadi pribadi yang dapat memaafkan dengan tulus, dan bagaimana cara mencari keadilan yang sesungguhnya. Kembali saya turut berbela sungkawa.


Pembalasan dendam yang terbaik adalah mengampuni (Anonimous)

0 komentar :

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang ambievert -- Bercita-cita dapat mengunjungi 35 Provinsi di Indonesia --Belajar menjadi environmentalist tapi masih sulit untuk hemat energi (namanya juga tahap belajar) -- Sarjana Ekonomi namun tidak begitu paham khatam ekonomi -- penggila senja dan pengagum langit biru -- sangat menyukai perjalanan darat -- tak pernah berhenti kagum atas karya Pencipta alam yang ada di bumi -- Environmental Science, University of Indonesia 2014 (Master degree) -- Resource and Environmental Economics, Bogor Agricultural University 2009-2013 (Bachelor Degree) -- SMAN 5 Bengkulu -- Christian -- I just wanna be a good Indonesian

Popular Posts