Terakhir saya menulis setahun yang lalu, dan ini adalah
tulisan pertama saya di tahun 2014.
“Siapa pun dia yang banyak
dibicarakan orang sekarang, saya tidak mengenal dia. Berita tentang dia menjadi
highlight di berbagai media informasi dan media sosial, dan saya tidak mengenal
dia. Saya hanya tahu dia anak muda dengan kepribadian ceria dan baik. Sedih
mendengar akhir hidupnya yang tragis. Salut melihat ketegaran orang tuanya
dengan pengampunan yang tulus. Semoga Keluarga dan kerabat yang ditinggalkan
dihiburkan dan semakin dikuatkan. Turut berduka cita atas kembalinya ke rumah
Bapa, Ade Sara Angelina Suroto.” (Alsita 2013)
Setiap
pagi (Senin-Jumat), saya selalu berangkat ke kampus di daerah Salemba
(tentunya jika ada kuliah). Perjalanan dari rumah ke kampus saya cukup jauh,
memakan waktu 1,5 jam. Transpotasi commuterline
Jabodetabek merupakan salah satu pilihan untuk mencapai kampus saya,
mengingat rumah saya yang terletak di Tangerang. Stasiun tujuan saya adalah
Stasiun Cikini. Dari stasiun saya berjalan kaki melintasi perkampungan dan
Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) dalam waktu 15 menit (ini merupakan jalan
pintas terdekat setelah saya beberapa kali melakukan eksperimen jalan), dan
sampailah saya di kampus.
Setiap berangkat
kuliah, saya selalu melihat kehidupan di RSCM. Lintasan yang saya lewati tidak berubah
jauh tiap harinya. Lorong-lorong rumah
sakit, berisi orang-orang berjas putih dengan langkah yang sangat cepat,
orang-orang biasa yang berlalu lalang dengan berbagai kebutuhan yang berbeda,
orang-orang yang duduk di kursi roda dengan wajah pucat, orang-orang yang hanya
bisa tidur di tempat tidur dan tempat tidur tersebut dijalankan oleh para
perawat, keluarga pasien yang sedang
menunggu (saya tak tahu apa yang mereka tunggu), dan lain sebagainya.
Perjalanan saya terus menyusuri lorong, hingga berakhir di departemen forensik
FK UI, kamar jenazah, dan rumah duka RSCM. Yah.. sebelum saya mencapai kampus
saya, saya harus melewati itu. Terkadang pemandangan mata saya pun dihiasi
dengan mobil jenazah yang mengangkut jenazah, serta wajah-wajah sedih keluarga
atau kerabat yang sedang berduka.
Suatu
ketika, di pagi hari, saya melewati rumah duka tersebut. Rumah duka tidak
terlalu ramai, tapi ada beberapa orang mengobrol di depannya. Mungkin ada yang
baru saja meninggal, dan itu kerabatnya, pikir saya. Saya biasa saja, karena
itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Keesokan harinya, saat pulang kuliah
di siang hari, saya dan kedua teman saya seperti biasa kembali melintasi rumah
duka. Terdapat banyak papan bunga duka cita berjejer di depan rumah duka. Hal itupun
juga merupakan pemandangan biasa di mata saya. Namun, nama yang dituliskan di
papan tersebut seperti pernah saya lihat atau dengar.
Saya sempat berhenti di depan
papan bunga tersebut, agak lama, memperhatikan nama yang tercantum. Hmm..
mungkin beliau anak seorang pejabat, melihat rumah duka yang terlihat ramai,
pasti anak pejabat, pikir saya. Lalu saya dan kedua teman saya berjalan lagi. Beberapa
hari memang saya jarang menonton berita atau membuka beberapa sosial media. Dan
ketika saya sampai di rumah, saya menonton berita, saya langsung “ngeh” dengan
nama yang tercantum di papan bunga tadi. Ternyata beliau adalah korban
pembunuhan tragis dan beritanya benar-benar sangat menghebohkan berbagai media.
Entah
mengapa saya sedih sekali setiap saya melihat kronologis pembunuhan tersebut. Dalam
hati saya merasa sangat kasihan dengan keluarga korban, dan tentu saya juga
kasihan dengan kedua pelaku yang melakukan pembunuhan. Apa yang ada dipikiran
mereka saat melakukan aksi tersebut? Mereka bertiga masih muda, masa depan
mereka ada, mereka berada pada jenjang usia produktif dan emas, tetapi mengapa
dua orang dari mereka tega melakukan dosa yang benar-benar keji dan satu orang
di antara mereka harus menjadi korban dosa tersebut? Sebegitu parahkah karakter
beberapa anak muda sekarang hingga rela membunuh teman sendiri?
Saya
tahu beberapa media terkadang melebih-lebihkan sebuah pemberitaan peristiwa
atau apapun itu. Namun, di luar dari “melebih-lebihkan suatu berita”, saya
sebagai salah seorang yang pernah terlibat dalam pelayanan pembinaan remaja
(secara sukarela) benar-benar merasa sedih. Dari beberap berita yang saya baca,
mereka melakukan aksi dengan TERENCANA, benar-benar menyiksa korban, dan dengan
motif yang sangat kanak-kanak. Mereka bertindak selayaknya pelaku berdarah
dingin, mengucapkan turut berduka, dan bahkan ikut melayat. Saya jadi penasaran
dengan mereka, rasanya ingin mengulang kejadian di mana saya melewati rumah
duka dan berharap bertemu mereka.
Di usia yang sangat belia, belum
menyelesaikan kuliah, belum merasakan dunia kerja, belum mencapai cita-cita
mereka (atau apa cita-cita mereka benar-benar ada?), tapi mereka sudah melakukan
tindakan menghilangakn nyawa orang lain. Kembali saya mempertanyakan, apa yang
ada di pikiran mereka? Separah itu kah kejiwaan mereka terganggu? Setidak matangkah
itu kah karakter mereka? Betapa rendahkah mereka mengganggap nyawa seseorang? Apakah
mereka tidak tahu beribu-ribu manusia di rumah sakit memperjuangkan nyawa agar
tetap ada, namun mereka dengan mudahnya di usia yang sangat muda menghilangkan
nyawa orang lain? Apakah mereka tidak memikirkan apa dampak dari tindakan
mereka? Banyak pertanyaan muncul di kepala saya, terkhusus mengenai dua orang
ini. Semoga mereka sadar atas apa yang mereka perbuat, dan semoga mereka tahu
bahwa yang Maha Kuasa berduka atas tindakan mereka.
Di sisi
lain, saya sangat salut dengan orang tua korban. Dengan sangat tulus dan tegar
mereka bahkan memaafkan pelaku. Saya mungkin belum pernah mengalami hal seperti
mereka, ditinggalkan oleh orang yang sangat dikasihi. Namun, kurang lebih
secara teori saya tahu betapa berat kesedihan yang dialami. Sungguh ini sebuah
kekuatan luar biasa yang diberikan oleh Tuhan. Betapa mereka memiliki iman dan
hubungan yang baik dengan Tuhan, sehingga mereka tahu apa yang harus mereka
lakukan.
Berita ini
mungkin menjadi cambukan keras bagi kita semua. Memang masih banyak kasus lain
yang terjadi selain kasus ini, tidak diberitakan secara nasional dan tidak
berada pada bagian highlight. Namun
kasus ini justru menjadi kesempatan kita untuk melakukan hal terbaik melalui
peran kita masing-masing dalam membangun karakter pribadi, karakter anak muda,
dan karakter bangsa. Kita bisa belajar dari pelaku, dari korban, dan dari orang
tua yang ditinggalkan korban. Bagaimana menjadi orang tua yang mendidik
anaknya, bagaimana menjadi anak muda dengan karakter yang dewasa, bagaimana
menjadi pribadi yang dapat memaafkan dengan tulus, dan bagaimana cara mencari
keadilan yang sesungguhnya. Kembali saya turut berbela sungkawa.
Pembalasan dendam yang
terbaik adalah mengampuni (Anonimous)
0 komentar :
Posting Komentar