“Dulu yang saya tahu Bogor adalah Kota Hujan, sekarang yang saya ingin
katakan Bogor adalah Kota Penuh Kenangan (Alsita 2013)”
*(foto-foto yang ada di tulisan ini cenderung jadul haha)
*(foto-foto yang ada di tulisan ini cenderung jadul haha)
Lately, I’ve felt a very
monotonous life. It is very different life than one year ago, when I spent my
time with many good people, faced many fluctuating life, but now I almost spend my time alone in home. Yeah, I just do my activity with home, commuterline,
campus, (bookstore or library sometimes), and then commterline again, home again,
just so so..
Saya merindukan Bogor. Dengan
kehiruk-pikukan angkot hijaunya (Bogor kota seribu angkot), dengan kemacetannya
di mana-mana, dengan suhu panasnya, dengan hujan badainya, dan banyak hal lain.
Saya yang dulu membayangkan Kota Bogor adalah sebuah Kota yang dingin, selalu
hujan setiap saat, dan sejuk, hilanglah semua bayangan itu ketika saya sampai
di stasiun Bogor untuk pertama kalinya.
Saya merindukan Dramaga. Sebuah
kecamatan di Bogor Barat, yang kata orang sedikit kampung, namun benar-benar memanjakan.
Mencapainya saja perlu perjuangan dari
stasiun Bogor. Jauh dari Kota Bogor yang sesungguhnya. Terminal Laladon tempat
diujinya kesabaran karena harus menghadapi supir angkot yang suka nge-tem. Dan
nasibnya, kampus saya ada di kecamatan ini.
Saya merindukan Bara, jalan kecil
di sebelah area kampus saya, merupakan jalur perdagangan strategis, yang
diperdagangkan sangat lengkap dan murah. Dari makanan, perlengkapan elektronik,
kebutuhan kuliah, fotocopy dan print, bahkan (maaf) pakaian dalam pun ada.
Di jalan ini juga ada pintu kecil menuju kampus. Pintu yang paling strategis
dan ramai, banyak pedangang kaki lima beredar di sekitarnya, dan nama pintu ini
Berlin. Entah mengapa pintu ini diberi nama Berlin dan apa yang ada di pikiran
orang (yang memberikan nama ini) saat mencetuskannya. Pintu itu sama sekali
tidak ada mirip-miripnya dengan tembok berlin (sok tahu sekali saya, serasa
saya pernah melihat tembok berlin secara langsung haha). Ada kenangan yang
sangat “indah” antara saya dan pintu ini. Di suatu siang dan hujan sangat
deras, saya dan dua adik kelas saya berlari melintasi pintu ini, nekat menembus
hujan. Bodohnya saya dengan sok keren (biar terlihat cool) mencoba melompat
melintasi pintu ini (ada teralis horizontal setinggi 30 cm di bagian bawah
pintu ini), namun ternyata lompatan saya kurang tinggi dan menyandung teralis
tersebut. Alhasil saya jatuh, terjerembab di antara genangan air, hingga pipi
saya membentur tanah aspal. Kaca mata saya terpelanting entah ke mana, yang
saya rasakan pusing karena kepala yang terbentur, basah berlumpur, dan MALU!!
Orang-orang hanya melihat dan saya tidak ingin tahu apa yang mereka pikirkan. Beberapa
hari kemudian salah satu teman saya bertemu saya dan mengakui, bahwa dia
melihat saya jatuh kemarin dan berpura-pura tidak mengenali saya. I love you, Berlin!
Saya merindukan jalan perwira.
Jalan di mana berjejer kost-kostan (salah satunya kost-an saya), berlalu-lalang
mahasiswa dengan pakaian rumahnya. Jalanannya yang rusak, dan rajin diperbaiki,
namun mirisnya rusak lagi pada bulan berikutnya. Setiap hujan deras jalanannya
selalu banjir. Suatu malam, di malam pertama saya menjadi penghuni salah satu
kost-an di sana, saya pernah mengarungi “sungai” perwira ini di tengah badai
hujan deras (berasa tim SAR). Banjir hingga betis, jalanan kosong tak ada orang, dan tiba-tiba
mati lampu. Di pertengahan banjir sendal jepit saya pun harus putus. What the poor i am! Di Jalan ini pun
ada warteg “YS”. Warteg favorite mahasiswa, karena makanan yang disajikan fresh from the frying pan, enak dan murah. Jalan ini juga sering menjadi tempat perayaan ulang tahun, baik secara anarkis maupun anggun.
Saya merindukan Graha Widya
Wisuda (GWW). Tempat di mana saya di sambut pertama kali sebagai mahasiswa baru
Institut Pertanian Bogor, dan tempat di mana saya dilantik dan diwisuda sebagai
seorang Sarjana Ekonomi. Semasa kuliah, pelataran GWW menjadi tempat strategis untuk
rapat, latihan nyanyi, dan bertemu dengan teman-teman. Bahkan saya beberapa
kali (sering mungkin) berada di sana hingga tengah malam, karena rapat atau hal
lain. Di sana terekam, bahwa beberapa rapat yang saya hadiri ada tawa, perkelahian, tangisan, teriakan protes, motivasi, dan lain sebagainya. Tidak jarang tempat ini menjadi tempat perayaan ulang tahun, baik perayaan secara anggun atau secara anarkis. Umumnya jika perayaan dilakukan secara anarkis, yang berulangtahun akan diseret ke gladiator (pelataran di seberang GWW untuk dieksekusi). Ini nih foto-foto kenangan di GWW dan gladiator.
Saya merindukan setiap ruangan
kelas di kampus IPB. Tempat di mana saya menuntut ilmu dan menggapai mimpi
(termasuk mimpi dalam tidur nyenyak saya ketika kuliah). Bersosialisai dengan
teman-teman tercinta. Makan di Kantin Sapta Dharma, yang salah satu penjual es
kelapa mudanya berhasil membuat saya diare selama seminggu (setelah pembaruan
kampus dan pengecekan kantin ulang, abang penjual es itu sudah tidak ada lagi
di tahun ke-empat saya).
Saya merindukan ruang kuliah Unit Pelatihan Bahasa Terpadu. Semester 8 saya sempat mengambil kursus Bahasa Korea level 1a. Setiap pertemuan kursus sangat menyenangkan, bersama teman-teman sesama pengagum budaya korea (beserta dunia hiburanya), dan guru native (Seon Seung Nim) didatangkan langsung dari Korea.
Saya merindukan LSI Perpustakaan
Pusat IPB. Teman akrab saya ketika saya menjadi mahasiswa tingkat akhir. Bertapa
di sana dari pagi hingga malam hari (selalu kena usir penjaga perpus karena
perpus harus ditutup), tempat ini juga menjadi salah satu tempat tidur favorite
saya, di mana teman saya pernah diam-diam memotret saya tidur dengan mulut
mangap tanpa memperdulikan orang-orang di sekeliling saya. Saya juga pernah
iseng ke lantai 1 (lantai bawah tanah yang agak “spooky” katanya) hanya karena
penasaran.
Saya merindukan Faperta Lantai 5
dan Lanskap lantai 5, tempat berbagai macam rapat juga berlangsung. Tepat adu mulut
karena perbedaan pendapat saat rapat, tempat saya pernah melihat air mata jatuh karena keinginan yang tidak sesuai saat rapat, ataupun karena emosi dan sedih.
Namun, lantai ini juga menjadi tempat berbagai orang bertumbuh dalam rohani, dan menjalani proses pendewasaan dalam berpikir.
Para mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB memplesetkan lantai ini
sebagai lantai suci, hahaha.
Saya merindukan koridor-koridor Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan dan ruang dosen Mba Pini (dosen saya tercinta), di mana tempat itu merekam perjuangan saya menunggu dosen, berkutat dengan skripsi dan revisi, dan bagaimana saya mengurus studi hingga hari kelulusan saya.
Saya merindukan koridor Pinus,
Bengkel Lanskap, dan HMIT, tempat di mana dulu saat semester 3 saya sering menghabiskan waktu saya hingga tengah malam untuk internetan gratis. Haha, saya
sendiri tidak habis pikir dulu saya punya keberanian sendirian di sana hingga
jam 12 malam.
Saya merindukan Auditorium Thoyib
Hadiwijaya dan koridor di bawahnya. Saat tingkat satu, saya sering menghabiskan
waktu saya di sana untuk latihan paduan suara angkatan. Selebihnya saya
menjalani rapat berbagai kepanitiaan, berbagai seminar serta ibadah di sana.
Saya merindukan Kolam GFM di
koridor tanah, dan kolam logo IPB di taman rektorat. Tempat saya diceburkan
oleh teman-teman saya secara brutal di hari ulang tahun saya yang ke 19. Badan
saya penuh dengan lumut dan berbagai jenis fitoplankton
sepertinya saat itu.
Saya merindukan lapangan
rektorat, tempat ini sering menjadi lokasi pelatihan komisi displina a.k.a
komdis (panitia ospek yang hobinya nge-galakin yang diospekin). Di semester 5, hampir sebulan saya menjalani pelatihan fisik di sana (walau tekadang
bolong-bolong). Saat itu, pelatihan ini menjadi kontribusi besar dalam menurunkan berat
badan saya hingga 7 kg. Nice!
Saya merindukan balkon H-Rek lantai 4. Pemandangan di sana sangat bagus menghadap langsung landscape Gunung Salak, sepi, dan menjadi tempat favorit saya untuk belajar pada saat saya di tingkat 1.
Saya merindukan asrama Tingkat
Persiapan Bersama IPB A1, lorong 10, kamar 132. Setahun saya tinggal di sana
saya bertemu teman-teman baru, bersosialisai dengan teman-teman berbagai daerah
Sabang sampai Merauke, dengan karakter dan latar belakang berbeda-beda. Di sana
dilarang membawa kompor, heater air, printer,
dan setrika. Namun, kenakalan saya dan teman-teman selorong saya, kami berhasil
membuat semua alat itu ada di lorong kami hingga hari terakhir kami di asrama (padahal saat itu saya adalah seorang ketua lorong a.k.a Bu RT).
Pemandangan dari jendela kamar langsung menghadap Gunung Salak, salah satu
suasana yang saya rindukan.
Saya merindukan beranda BNI.
Tempat di mana mahasiswa biasa janjian untuk bertemu, tempat yang nyaman untuk
ngumpul dan bercengkrama di malam hari, bahkan untuk rapat. Saya beberapa kali
meghabiskan waktu saya untuk mendengarkan curhat teman saya, dan pernah juga
saya yang melakukan curhat di sana. Tak lupa ATM gallery-nya, yang selalu ramai
di awal bulan, dan sepi di akhir bulan. Salah satu ATM yang sangat dipuja-puja
mahasiswa karena ada mesin ATM yang menawarkan pecahan uang Rp 20.000!!! What the kind of wonderful life!
Saya merindukan kost Sinabung,
tempat saya tinggal selama kurang lebih tiga tahun. Saya merindukan setiap opnum
di dalamnya, penghuni kosan yang gila, hobi memasak, hobi berteriak, dan hobi
tertawa. Saya merindukan bapak kosan yang selalu sabar membukakan saya pintu
jika saya pulang telat karena tugas, rapat, atau karena main hehe. Saya merindukan
ibu kost-nya yang tak pernah bosan menagih uang listrik dan uang kosan
tentunya, haha. Yang saya paling suka, teman-teman saya di sini bandar video
korea, haha.
Saya juga merindukan Kost Perwira
10. Walau hanya 4 bulan tinggal di sana, saya sangat senang dengan kekeluargaan
di sana. Pulang dalam perjuangan dengan skripsi, saya langsung bercengkrama
dengan penghuni di sana. Bermain gitar hingga tengah malam, dan “melacur”
(melakukan curhat maksudnya haha), entah dari mana istilah itu datang. Saya
juga merindukan tiga peliharaan gagah di sana, anjing pemberani tetapi kadang
kecut: Nero, Jeni, dan Gendut.
Saya merindukan Kost Pondok
Putri. Kost-an ini bukan tempat tinggal saya. Tapi kost-an ini tempat tinggal
sahabat saya. Saya sering menjadi penghuni gelap tetap di sana, haha.
Saya merindukan warkop di
perwira. Jawaban dari laparnya perut di tengah malam, atau suntuknya pikiran saat belajar menjelang ujian. Mie rebus, kopi, atau teh menjadi makanan
favorit di sana.
Saya merindukan Student Center
IPB (SC IPB), ruang sekretariat PMK. Tempat rapat paling nyaman, tempat
berdiskusi paling enak, bahkan saat saya menjadi pengurus inti Komisi Pelayanan
Siswa ini menjadi salah satu tempat favorite untuk mengeluarkan unek-unek
sampai menangis haha (yang menangis teman saya, bukan saya). Bahkan saat
semester 3 ini menjadi tempat tidur siang favorit saya jika ada jeda kuliah,
jika saya malas pulang ke kosan.
Saya merindukan Gymnasium. Tempat
yang paling saya sering kunjungi saat tingkat satu, melakukan berbagai macam
olah raga, senam aerobik, lari, untuk mengisi 1 SKS mata kuliah olah raga, Hop!
Beralih ke Bogor Kota,
Saya merindukan KFC Baranang
siang. Tempat nongkrong favorit karena buka 24 jam. Tulisan “free attitude” di
dinding ruang makannya membuat saya semakin tertarik dengan tempat ini, hahaha.
Bahkan saya pernah menginap di sana bersama dengan teman-teman saya,
menghabiskan malam dengan bercengkrama,
melepas kepenatan aktivitas yang padat, sesekali tertidur di kursi.
Saya merindukan Burger King Botani Square. Tempa makan favorit saya, saya sering memanfaatkan internet gratis di sana, dan berkumpul dengan teman-teman saya. Saya bahkan pernah mengerjakan skripsi di sana karena bosan di kamar kosan, dan mencoba mencari suasana yang ramai.
Saya merindukan Kebun Raya Bogor.
Saya dan teman-teman saya pernah terkurung di dalamnya karena sudah sore dan
tidak tahu kalau gerbang sudah di tutup. Saya dan teman-teman saya juga pernah
melakukan misi sosial mengamen di sana, menyusuri setiap jalan kebun yang
berhektar-hektar, dan usaha kami berhasil. Sebanyak Rp 900.000 kami hasilkan
dalam 2 hari mengamen dengan suara emas kami. Saya juga pernah berjalan-jalan ke sana berdua dengan Bapak saya. Saat itu Bapak datang dari Bengkulu dan menjenguk saya yang sedang ngekos di Bogor. Kami pun merencanakan jalan-jalan ke kebun ini, hahah sungguh perjalanan seorang ayah dan anak perempuan yang sangat romantis.
Saya merindukan Lapangan Sempur.
Dulu tempat itu di penuhi pedagang makanan, dan kita bisa makan di tengah
lapangan di atas tikar pada malam hari (seperti alun-alun selatan Jogja). Saya
pernah merayakan ulang tahun saya di sana. Saya juga pernah melepas kepenatan
dengan 3 orang sahabat saya satu kepengurusan saat itu dengan bermain kembang
api di tengah malam. Di minggu pagi tempat ini bahkan menjadi pasar kaget. Saya
pernah dua kali berjualan baju bekas dengan teman-teman saya untuk mencari dana
kegiatan untuk siswa bogor. Pengalaman yang sangat seru dan tidak akan pernah
saya lupakan. Bangun pagi-pagi buta, mengangkut baju bekas dari Dramga ke
Lapangan itu, berteriak-teriak menjual baju bekas di tengah keramaian, memasang
muka tebal. Dan usaha kami tidak sia-sia, dalam sehari kami meraup keuntungan
sekitar Rp 450.000. Amazing Grace!
Saya merindukan tugu kujang. Tugu maskot Kota Bogor, di mana saya dan teman-teman saya pernah menggila di sana. Kami duduk di tugu itu (yang berada di tengah persimpangan pusat Kota Bogor), berfoto bersama, menatap kehiruk-pikukan Kota Bogor pada malam hari, untuk melepas kepenatan padatnya kegiatan, tanpa memperdulikan orang-orang yang melihat kami (pengendara, para tuna wisma, pengamen, anak punk).
Saya merindukan tugu kujang. Tugu maskot Kota Bogor, di mana saya dan teman-teman saya pernah menggila di sana. Kami duduk di tugu itu (yang berada di tengah persimpangan pusat Kota Bogor), berfoto bersama, menatap kehiruk-pikukan Kota Bogor pada malam hari, untuk melepas kepenatan padatnya kegiatan, tanpa memperdulikan orang-orang yang melihat kami (pengendara, para tuna wisma, pengamen, anak punk).
Saya merindukan SMKN PGRI 3
Bogor, SMAN 8 Bogor, SMA Kornita, SMPN 2 Bogor, SMP Gabungan Ciampea, dan
terutama SMPN 11 Bogor. Tempat saya melakukan pelayanan saya, aksi sosial saya,
dan menjalankan komitmen saya. Saya banyak belajar dari mereka para siswa, dan
saya banyak belajar dari aktivias saya di sana.
Saya merindukan Sekretariat KPS
di Kompleks perumahan dosen Sindang Barang. Rumah sekret ini sudah seperti
kosan kedua saya. Tempat di mana rapat, pembinaan, KTB, keakraban sering berlangsung.
Tempat ini saksi dari suatu perjuangan, persahabatan, kebahagian, perseteruan,
adu pendapat, nyanyian, air mata, tawa, keegoisan, ketulusan, ke”ribet”an, dan
pertumbuhan rohani orang yang luar biasa berlangsung. Sekret juga sering menjadi tempat pembantaian sahabat-sahabat yang berulang tahun. Terkadang kami mendapat teguran dari satpam kompleks karena keceriaan kami terlalu membahana di sekitar lingkungan kompleks (alias berisik). I miss
you, my fourth home.
Saya merindukan daerah puncak dan
sekitarnya. Semester dua saya pernah melakukan hal gila, mengendarai motor untuk
pertama kalinya selama saya kuliah, di malam hari, dari Dramaga hingga Puncak
Pass (pulang-pergi). Di semester empat saya sempat beberapa kali pulang pergi
bolak balik Bogor-Puncak untuk mencari villa retreat, bahkan pernah nekat hujan-hujanan di perjalanan hanya
karena mengejar waktu. Hingga kami pun hampir memilki keinginan menggunakan
uang untuk membeli baju kering dibanding membeli makanan. Saya bahkan pernah
ditilang polisi di daerah Gunung Mas, namun saya berhasil lolos karena saya
menunjukkan SIM dan STNK secara lengkap (padahal saya tidak punya SIM, yang
saya tunjukkan adalah SIM kakak kelas saya, entah apa yang terjadi dengan sang
polisi).
Masih banyak lagi tempat di sana
yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Yang saya tahu dan akan selalu saya
ingat adalah Kota ini menyimpan sangat banyak pelajaran dan kenangan. Saya
merasakan perubahan pola pikir dan karakter yang sangat pesat di sini. Saya
juga banyak mengalami proses pertumbuhan rohani selama tinggal di kota ini kurang lebih 4 tahun.
Terima kasih Bogor atas ilmu yang diberikan, setiap proses yang membuat saya
bertumbuh, dan setiap kenangan yang terkandung di dalamnya. Terima kasih Tuhan karena Kau pernah menempatkan saya di kota ini. Semua akan terekam dengan jelas dalam ingatan, selama tidak ada gangguan di ingatan, namun semua akan terekam selamanya dalam hati.
0 komentar :
Posting Komentar