Menulis karena sedang belajar. Karena saya tidak bisa belajar tanpa menulis.

Rabu, 14 Oktober 2015

Percakapan saya dan mama saya setahun yang lalu menjelang tanggal 8 Agustus 2014 (tahun lalu). Saat itu kami (saya, mama dan bapa) sedang bersiap-siap untuk melakukan perjalanan dari Bengkulu menuju Jambi dengan menggunakan mobil pribadi.

“In, tahun ini usiamu berapa tahun?” Tanya mama.
“23 ma,” jawab saya, padahal dari hati saya yakin mama sudah tahu sebentar lagi usia saya akan genap 23 tahun.
“Oo, mama dulu nikah umu 22,” ujar mama sambil senyum-senyum.
“Oo, mama mau iin nikah? Yaudah tinggal berenti kuliah aja, gimana?” Jawab ku asal, lalu kami tertawa.

Percakapan yang hampir sama pun mulai terjadi di tahun ini (2015), tepatnya kembali menjelang tanggal 8 Agustus. Percakapan kali ini antara saya dan kakak perempuan saya yang nomor tiga, beliau sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang anak. Jarak usia kami hanya selang 2 tahun, dan kami memang sangat dekat.

“Dek, kamu sekarang 24 tahun ya?” Tanya dia, dan saya yakin itu adalah pertanyaan retoris.
“Iya,” jawabku singkat.
“Kakak dulu nikah umur 24,” nadanya menggoda.
“Iya iin tahu, terus?” Tanya saya balik.
“Gak, ngasih tahu aja..” jawabnya lalu.

Pertanyaan mengenai hal ini memang sudah saya perkirakan akan muncul bertubi-tubi sejak semua abang dan dua orang kakak saya sudah menikah. Tinggallah saya si bontot yang belum menikah, di usia yang sudah 24 tahun ini haha. Dan sudah pasti tentunya, semua doa yang muncul lewat sms, whatsapp, bbm, dan facebook tidak jauh dari seputar hal “tabu” ini haha.
Saya jadi ingat doa dari teman dekat saya yang sedang mendekam di tengah hutan provinsi Jambi karena pekerjaan, namanya Paul, tapi saya lebih suka memanggilnya Paulina =P. Hampir beberapa  tahun belakangan dia selalu mengucapkan selamat ulang tahun paling pertama. (Entah karena beberapa kali dia sedang berada di bagian WITA, atau memang dia kerajinan). Ucapan dan doa dari dia yang paling membuat saya berkesan adalah

“Selamat ulang tahun buat bendahara rempong gw..hahaha. Semoga cepat kelar S-2nya, lancer rejeki, dan ‘HAL YANG HARAM DITANYAKAN’ cepet datangnya, muahaha..God bless :D”

Saya sangat terkesan dengan kata-kata “hal yang haram ditayakan” hahaha, saya bingung itu beneran doa atau sebuah ejekan hahaha. Dan bukan hanya Paul yang menyinggung hal itu, tapi juga hampir semua ucapan dan doa dari teman-teman yang lain.

Kira-kira itulah hal heboh yang menyambut genapnya usia saya yang ke 24 tahun ini, hahaha. Ulang tahun yang 24 tanggal 8 Agustus lalu, seperti biasa selalu sederhana. Saya juga bukan tipe yang terlalu mengistimewakan ulang tahun sendiri. Cukup mendapatkan doa dari orang-orang yang dikasihi saja sudah cukup. Tanpa perlu kue ulang tahun, ritual tiup lilin, dan buka membuka kado. Saya ingat kata-kata Bapa saya, “di usia mu yang segini, bukan saatnya lagi menantikan kue dan tiup-tiup lilin.” Ya, saya sangat setuju dengan Bapa.

Saya sangat bersyukur untuk usia saya yang ke 24. Kado terindah saya di usia ini adalah saya bisa berdoa bersama di pagi hari dengan Mama dan Bapa saya di rumah tempat saya dilahirkan (Yap, di Kota Bengkulu). Pagi hari saya dibangunkan dengan nyanyian “panjang umurnya”, dengan senandung merdu Bapa dan tepuk tangan dari Mama. Mereka berdua masuk ke kamar saya dan duduk di tempat tidur saya, lalu mengajak saya berdoa bersama. Hal hangat yang selalu saya rindukan dan saya akan selalu rindukan. Saya sengaja menunda keberangkatan saya kembali ke Jakarta (dengan konsekuensi mundurnya jadwal penelitian) karena saya ingin merasakan suasana ini. Saya sangat menantikannya, karena saya tidak tahu apakah tahun depan saya bisa kembali merasakan ulang tahun seperti ini? Haha karena saya membayangkan tahun depan saya mungkin akan jauh dari orang tua saya (hanya masih bayangan…)

Tepat pada pukul 00.00 sebelumnya, saya duduk terdiam di kamar, merenung, apa yang harus saya syukuri dari usia yang ke 24 ini? Dan apa yang sudah saya lakukan selama 24 tahun ini? Jawabannya adalah, begitu banyak yang sudah diberikan Tuhan, tapi saya belum melakukan apa-apa. I’m still nothing. I’m nothing. Sangat keterlaluan jika saya tidak mensyukuri setiap pemberian diberikan Tuhan.

Pertama, saya sangat bersyukur Tuhan sudah memberikan keluarga yang sangat mengasihi saya. Bapa dengan sifatnya yang hangat, bijaksana, mengayomi, peduli, dan tidak pernah mengeluh. Tiap pagi selalu rajin menelpon saya (jika saya berada jauh darinya), 3 hal utama yang sellu ditanyakan “Halo, boru? Sudah Berdoa? Sehat? Uang mu masih cukup?” (pertanyaa favorit saya adalah pertanyaan yang ketiga) haha.

Mama, dengan sifatnya yang tegas, teliti, perfeksionis, gesit, master of multitasking dan guru yang luar biasa. Dibalik sosoknya yang dipandang orang-orang sangat tegas, tersimpan jiwa hangatnya. Hahahha walaupun kami hobi berdebat, tapi selalu cepat untuk berbaikan (walaupun terkadang saling gengsi, dan berujung bahan candaan).

Abang Olan, sosok teladan dalam ketekunan. Dia sangat tekun dan ulet dalam berdoa dan berusaha. Ditambah sifat selengek’annya yang membuat saya cocok dengannya.
Kak Lidya, sosok kakak yang sangat cantik, penyabar, penyayang dan tenang, namun lugu. Saking tenangnya, Abang Olan pernah mengatakan “walau seribu rebah di kiri dan sepuluh ribu rebah di kanan Kak Lidya tetap selalu tenang, namun orang-orang disekelilingnyalah yang gergetan hahaha.
Kak Esya, sosok perfeksionis selanjutnya. Sangat detail dan kritis. Saya paling dekat dengannya, mengingat kami paling lama hidup bersama (jarak usia yang hanya 2 tahun).
Dan Tuhan sudah menambah jumlah keluarga kami, kakak ipar saya Kak Berni (Istri Abang Olan), dan 2 abang ipar Bang Edi (Suami Kak Lidya), dan Bang Juned (suami Kak Esya). Tidak ketinggalan si kecil Auby (anak Kak Esya dan Bang Juned).

Saya sangat bersyukur atas keluarga yang Tuhan berikan untuk saya. Saya bersyukur saya bisa menikmati masa bertumbuh menjadi dewasa bersama saudara-saudara saya. Dari ketika kami masih kecil bermain bersama di rumah, hingga sudah punya kehidupan rumah tangga sendiri-sendiri (kecuali saya, belum haha).

Kedua, saya juga sangat bersyukur untuk kesempatan pendidikan yang saya kerjakan sekarang. Saya bukan siapa-siapa, dan saya bukan apa-apa. Tapi saya tahu, Tuhan ingin pakai saya. Maka saya akan jalankan kesempatan ini. Walaupun beberapa kali saya lupa bersyukur, dan justru mengeluh karena tantangan dunia kuliah pascasarjana, tapi biarlah semua Tuhan pimpin. Kembali, saya bukan apa-apa, saya masih jauh dari keahlian. Semakin saya terlibat semakin dalam di jenjang pendidikan ini, saya semakin merasa saya tidak ada apa-apanya. Yang hanya saya bisa lakukan adalah belajar, belajar dan belajar.

Ketiga, saya sangat bersyukur untuk persahabatan bertahun-tahun yang Tuhan berikan kepada saya. Tuhan memberikan saya teman-teman yang sudah saya kenal sejak saya SMP, SMA, dan masih terpelihara hingga sekarang. Yang patut saya syukuri adalah, mereka adalah orang-orang yang sangat luar biasa, saya tidak menyadarinya dari lama, bahwa saya sudah dikeliling oleh orang-orang yang bervisi sejak saya SMP.

Keempat, saya sangat bersyukur saya diberikan komunitas KTB bersama teman-teman saya pada saat S1. Kembali, mereka adalah orang-orang yang sangat luar biasa. Latar belakang kami pun berbeda-beda, baik itu latar belakang keluarga, bidang kemampuan, serta bakat. Tapi Tuhan mempertemukan kami dalam komunitas ini, perjuangan tiap sebulan sekali untuk bertemu sharing hidup dan Firman. Terkadang total waktu perjalanan kami untuk bertemu lebih lama dari pada waktu yang kami habiskan untuk bersama. Tapi sukacita saat kami berkumpul itu obat semuanya.

Kelima, saya sangat bersyukur pernah terlibat dalam pelayanan siswa Bogor. Saya sangat banyak dibentuk dari pelayanan itu. Mental, pola pikir, kesabaran, dan perjuangan. Saya juga belajar untuk keluar dari zona nyaman, dan saya bertemu dengan teman-teman yang luar biasa. Baik itu kakak-kakak kelas saya, teman seangkatan, dan adik-adik kelas. Bertemu dengan siswa-siswa Bogor dengan berbagai macam ceritanya. Belajar bagaimana menghadapi sikap orang yang berbeda-beda, mengontrol dan mengendalikan diri, banyak hal, banyaaaak, banyak sekali, sungguh saya sangat bersyukur.

Keenam, saya sangat bersykur dengan teman-teman yang luar biasa di S1. Saya banyak mendapatkan sahabat-sahabat dari berbagai komunitas, yang selalu siap sedia menjadi pendengar dan penegur kapanpun di mana pun. Bahkan di S2, saya menemukan teman-teman luar biasa. Orang-orang pintar yang tidak pernah segan membagikan ilmunya. Mereka dari latar belakang ilmu yang berbeda-beda (berhubung saya terlibat dalam disiplin ilmu yang bersifat mutidisiplin), dan berasal dari dunia pekerjaan yang berbeda. Saya belajar melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang dan betapa saya makin merasakan bahwa saya tidak ada apa-apanya.

Ketujuh, saya sangat bersyukur dengan dosen-dosen yang luar biasa. Kesempatan berharga saya bertemu dengan para pakar-pakar yang sangat rendah hati dan cerdas. Bahkan beberapa di antaranya bukan hanya sekedar dosen, tetapi juga GURU. Yah, Guru! Benar-benar mendidik secara ilmu, etika, dan filosofis.

Ke delapan, saya sangat-sangat bersyukur dengan semua talenta, kesehatan, kecukupan dan keceriaan yang Tuhan berikan pada saya. Tapi tetap, saya tidak ada apa-apanya.

Ke Sembilan, saya sangat bersyukur atas semua pengalaman yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Saya sempat merasakan tinggal di asrama bertemu berbagai macam teman dari Sabang sampai Merauke. Saya sempat merasakan asistensi PA, terlibat dalam berbagai kepanitiaan, organisasi, proyek penelitian, pekerjaan sambilan dan lain sebagainya. Tapi tetap, saya tidak ada apa-apanya.

Dan Kesepuluh, saya sangat bersyukur sampai saat ini Tuhan masih memberikan hati pada saya untuk terus setia mendoakan pekerjaan apa yang akan saya kerjakan nanti. Tidak ketinggalan, Tuhan juga masih memberikan hati pada saya untuk terus setia mendokaan “hal yang awalnya dianggap haram” hahaha, yap, pasangan hidup dari Tuhan. Saya bersyukur Tuhan masih memberikan kesempatan pada saya untuk mempersiapkan diri hingga saya benar-benar siap untuk dua hal ini. Saya bersyukur Tuhan memberikan saya kesempatan untuk belajar mengasihi, di mana saya belajar untuk mengasihi sesama karena terlebih dahulu saya mengasihi Tuhan. Karena semuanya akan tepat pada waktunya, in His time. Benar-benar tepat pada waktunya. Karena pekerjaan yang Tuhan kerjakan dan akan Tuhan kerjakan jauh melebihi apa yang ada dipikiran saya. Apa yang ada di pikiran Tuhan, jauh lebih tak terduga dan lebih luar biasa dari yang saya pikirkan. Saya bersyukur, Tuhan masih memberikan saya kesempatan untuk mengenalNya terlebih dahulu, walaupun saya masih sangat sulit untuk menjalaninya.


Kata orang usia 20-an adalah jenjang usia di mana manusia mulai dewasa dan banyak menentukan keputusan besar dalam hidup. Dan saya sudah mendekati pertengahan 20-an. Biarlah perjalanan ini Tuhan pimpin. Saya akan sering lari keluar dari jalur, tapi semoga Tuhan tidak pernah bosan menarik kerah baju saya untuk kembali ke jalur yang sesungguhnya. Terima kasih untuk orang-orang yang yang ada di sekeliling saya, dan tidak pernah jemu-jemu berhenti mengasihi saya. Kasih dari kalian tidak akan berhenti di saya saja, tapi akan saya teruskan ke orang lain. Saya bersyukur kepada Allah setiap kali saya mengingat kalian. Enjoy my twenties!

0 komentar :

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang ambievert -- Bercita-cita dapat mengunjungi 35 Provinsi di Indonesia --Belajar menjadi environmentalist tapi masih sulit untuk hemat energi (namanya juga tahap belajar) -- Sarjana Ekonomi namun tidak begitu paham khatam ekonomi -- penggila senja dan pengagum langit biru -- sangat menyukai perjalanan darat -- tak pernah berhenti kagum atas karya Pencipta alam yang ada di bumi -- Environmental Science, University of Indonesia 2014 (Master degree) -- Resource and Environmental Economics, Bogor Agricultural University 2009-2013 (Bachelor Degree) -- SMAN 5 Bengkulu -- Christian -- I just wanna be a good Indonesian

Popular Posts