Menulis karena sedang belajar. Karena saya tidak bisa belajar tanpa menulis.

hidup untuk belajar

belajar untuk hidup

maka hiduplah menjadi manusia

Sabtu, 24 Oktober 2015

Beberapa minggu ini saya banyak sekali bertemu orang, dari berbagai macam latar belakang, dan membawa pemikirannnya masing-masing. Tiap pembicaraan yang kami lakukan (antara saya dan orang-orang yang saya temui), saya selalu berusaha menganalisis jalan pikirannya (walaupun terkadang melenceng). Tiap cerita yang saya dengarkan dari beberapa orang belakangan ini menyentuh hati saya, dan membuat timbul perasaan ingin terlibat membantu walaupun sedikit. Ada juga rasa untuk berusaha menolong untuk mengubahkan hal-hal yang saya rasa salah, tapi terkadang muncul pula rasa ragu. Bahkan ada pilihan-pilihan keputusan dari orang-orang yang saya kasihi yang justru malah menjerumuskannya pada suatu kepuasan sementara, dan itu membuat saya sangat sedih.
Hingga suatu malam, ketika saya bertemu dengan salah satu teman terbaik semasa kuliah S1. Saat itu kami sedang saling sharing mengenai topik yang agak "berat" yaitu integritas haha (saya sendiri pun seperti masih sulit menerima dan menjalaninya). Pembicaraan kami sampai pada cerita saya yang dalam tahap ragu untuk mengungkapkan sesuatu yang saya anggap salah kepada orang yang saya temui, termasuk atasan saya. Lalu teman saya ini memberikan suatu analogi yang menurut saya cukup menarik. Teori Bakpao.

Pernah makan bakpao? Nah, andaikan anda dalam keadaan lapar, lalu saya memberikan bakpao kepada anda. Entah dengan senang hati ataupun tidak anda memakan bakpao yang saya berikan. Saat itu, apakah anda kenyang? Jawabannya belum tentu. Jika ada masih lapar, maka saya akan memberikan bakpao lagi kepada anda. Setelah anda memakannya, apakah anda langsung kenyang? Jawabannya masih belum tentu. Begitulah terus terjadi hingga anda memakan bakpao terakhir yang membuat anda merasa kenyang.

Sekarang pertanyaannya adalah, bakpao manakah yang sudah membuat anda kenyang? Bakpao pertama, kedua, atau yang terakhir? Jawabannya adalah pasti semua bakpao-bakpao yang sudah dimakan. Bukan bakpao pertama saja, kedua saja, atau ketiga saja.

Hal yang sama juga terjadi pada teguran-teguran, atau ajakan-ajakan untuk mengubahkan hidup orang yang kita kasihi atau kita terbeban untuk merangkulnya. Ketika kita menegur, menghimbau, atau mengajak sesorang yang kita kasihi untuk berbuat sesuatu yang lebih baik atau benar, mungkin tidak cukup sekali. Kita mungkin bisa menjadi bakpao yang pertama, bisa menjadi bakpao yang kedua, atau yang terakhir. Atau bisa jadi juga orang lain sebelum kita sudah menjadi bakpao pertama, kita bakpao kedua, atau ada orang lain lagi yang nanti akan menjadi bakpao ketiga. Kita tidak bisa secara langsung dapat mengubah seseorang. Setidaknya, kita sudah berkontribusi untuk berusaha "mengenyangkan" orang yang kita kasihi seperti kontribusi dari tiap bakpao tadi.

Tiap orang juga mempunyai kadar yang berbeda. Ada yang cukup dengan satu bakpao, ada juga yang haru lebih dari tiga bakpao. Intinya adalah, jangan segan untuk menyatakan teguran karena kasih kepada orang-orang yang kita kasihi, dan jangan ketinggalan untuk mendoakan mereka yang kita kasihi.

Teman saya mengakhiri sharing teori bakapo itu dengan senyuman. Jadi, mau menjadi bakpao? Haha. Saya pun juga masih memerlukan para agen-agen  bakpao untuk mengubahkan hidup saya,yang mungkin tidak saya sadari karena saya keluar dari jalur yang benar. Namun tidak menutup kemungkinan saya juga harus berusaha menjadi salah satu agen bakpao. Hahaha.

Jumat, 16 Oktober 2015

Beberapa hari sebelum tanggal 16 Oktober 2014.

“Dek, malam ini bisa nginep di rumah kakak?” Whatsapp dari Kak Esya

“Yah kak, kayaknya ga bisa, iin pulang malam terus banyak tugas, besok pagi harus ke kampus lagi,” balas saya, “ada apa kak? Bang Juned masuk malam?”

“Iya, Bang Juned masuk malam, perut kakak mules-mules, tapi sekarang mendingan, takut mules-mules lagi tengah malam,” Bang Juned adalah suami Kak Esya, beliau bekerja di Bandara Soekarno Hatta, sistem kerjanya shift pagi shift malam.

“Yaudah kakak nginep di perum aja..” perum nama wilayah di Tangerang, tempat tinggal mertuanya.

“Yaudah gak apa-apa, mungkin kakak nginap di perum..”

Pada saat itu, kakak saya diprediksi dokter akan melahirkan di awal November 2014, dan keluarga sebisa mungkin menjaganya agar tidak sendirian.

Sore 15 Oktober 2014

Saya mendapatkan kabar, entah saya lupa, apakah karena saya whatsappan dengan kakak saya atau mama saya yang memberi tahu, kakak saya beserta keluarga suaminya keliling-keliling Tangerang Serpong dan sekitarnya untuk membeli lemari baju calon bayi mereka.

Pagi hari 16 Oktober 2014

*dering handphone membangunkan saya*

“Halo ma,” sapa saya dengan suara serak, mama saya menelpon.

“Halo nak, udah bangun? Hari ini kuliah?” Tanya mama.

“Iya ma, jam 9, ini mau siap-siap..” jawab saya tapi masih tidur di tempat tidur dengan mata masih terbuka seperempat.

“Ooo.. udah tahu kakakmu sudah melahirkan?” Tanya mama santai.

“HAH APA? KAPAN MA? ITU BENERAN!!?” Mata saya akhirnya terbuka 100%.

“Iya tadi subuh jam 2.. di rumah sakit di BSD.” Jawab mama. Saya suda membayangkan wajah mama sangat bahagia, sudah jadi opung (nenek). Cucu pertama yang sudah dinanti-nanti.

“Ah.. kecepetan 2 minggu donk ma? Sekarang kakak gimana ma?” Saya bingung antara senang atau panik, saya jadi tante hahaha.

“Iya, beratnya Cuma 2,47 kg, kecil banget, hitungannya masih prematur, kakak masih di ruang operasi, masih ada tindakan, agak pendarahan habis melahirkan normal, nanti pulang kuliah kau ke sana ya..” ujar mama.

“Iya ma..” Saya saat itu tidak mengerti berapa berat badan normal untuk bayi yang baru lahir, tapi kata mama itu ukuran yang tidak normal.

“Kalau sempat, nanti kamu ke Tanah Abang mau nak? Sepertinya baju yang kita beli kemaren kegedean, beli yang ukuran kecil untuk anak kakakmu ya.. bajunya masih kurang kayaknya…” sebelumnya kami memang sudah membeli perlengkapan untuk si calon bayi, tapi kami tidak menyangka bayi ini lahir lebih cepat, mungkin sudah tidak sabar bertemu mamanya papanya, opung-opungnya, tulangnya, mama tuanya, tantenya, bapa tuanya, bapa udanya hahahaa.

“Oh gitu, oke maa..” saya lalu menyusun rencana untuk ke Tanah Abang, membeli beberapa baju bayi yang baru lahir.

Pembicaraan kami selesai dan teriakan saya tadi ternyata membangunkan abang saya dan istrinya. Mereka berdua langsung datang ke kamar saya dan saya menceritakan bahwa Kak Esya sudah melahirkan. Seketika rumah langsung heboh, dengan rasa syukur. Kalau saya? Haha masih tidak menyangka, kakak saya, teman main saya dari kecil, teman berantem, teman ceng-cengan, teman seperantauan, sekarang sudah punya anak. Dan saya? Haha sudah waktunya saya jadi tante-tante ahaha.

Saya ingin whatsapp kak esya, tapi saya sadar, ia pasti masih dalam keadaan tidak sadar. Sebelumnya saya belum pernah melihat orang melahirkan, atau melihat langsung orang pasca melahirkan. Saya bertanya-tanya, bagaimana kabar Kak Esya? Sakitkah dia saat melahirkan?

Saya lalu bbm Bang Juned, menanyakan kabar Kak Esya dan bayi. Bang Juned menjawab bayinya sehat, hanya Kak Esya masih tindakan pasca melahirkan, ada kendala sedikit katanya, dan perlu transfusi darah. Bang Juned lalu mengirimkan foto bayi dan menyebutkan namanya, “Aubrielle Faithy Nasya Maha”.

Di kampus, saya sudah tidak konsentrasi kuliah. Pikiran saya melayang ke Kak Esya dan Aubrielle. Jelang kuliah selesai, saya pamit dengan teman-teman saya dan menelpon mama menanyakan pakaian apa saja yang harus saya beli. Dari kampus saya langsung menuju Tanah Abang untuk membeli beberapa lusin pakaian untuk bayi yang baru lahir. Lanjut, saya langsung naik kereta menuju Serpong. Setalah janjian dengan Bang Juned untuk dijemput, saya sampai di Rumah Sakit bersalin tempat kakak saya di melahirkan.

Saya melihat raut muka Bang Juned, terlihat sangat bahagia, sekarang abang ipar saya itu sudah jadi ayah. Saya langsung masuk ke Rumah Sakit, kemudian Bang Juned mengajak saya ke ruang bayi. Terdapat kaca besar tembus pandang dibaliknya terlihat ruangan berisi tempat tidur bayi. Saya melihat ada beberapa bayi di dalamnya.

“Itu dia si Aubrielle,” tunjuk Bang Juned ke salah satu bayi yang ditidurkan di tempat tidur khusus. Tempat tidur itu memiliki lampu yang disinarkan ke bayi. Ada dua bayi di situ, yang satu badannya kecil, dan yang satunya badannya tidak terlalu kecil. Saya sudah bisa menebak yang mana Aubrielle.
Badannya sangat mungil, kulitnya masih merah, matanya terbuka memandang kosong ke arah langit-langit, mulutnya mengatup-ngatup, anteeeng! Badannya dibungkus kain bedong. Sekali-kali ia berusaha menggerakkan kakinya ke atas, meliukkan tubuhnya sedikit. Rambutnya masih tipis, tumbuh di kepalanya yang masih sebesar kepalan tangan saya. Saya tersenyum melihatnya dari balik kaca. Halo, keponakan? Siap bermain dengan aunty?

“Dia anteng banget, tuh. Lihat in, mukanya kayak lagi orang mikir, mikirin bokap nyokap gue tagihan rumah sakitnya berapa ya??” Ujar Bang Juned.

“hahahhahaa,” kami tertawa. Saya kembali melihat ke arah Aubrielle. Sebelumnya saya sering mendengar kata orang-orang bahwa anak baru lahir itu seperti malaikat. Tapi perkataan itu seperti lalu saja dipikiran saya. Namun, sekarang saya benar-benar percaya, bahwa bayi baru lahir itu benar-benar seperti malaikat, walaupun saya belum pernah melihat malaikat itu seperti apa. Mata saya tidak lepas memandang Aubrielle.

“Yaudah, yok lihat Kak Esya..” ajak Bang Juned.

Saya sampai lupa dengan Kak Esya hahaha, saya lalu berjalan mengikuti Bang Juned menuju kamar perawatan Kak Esya, kata Bang Juned, Kak Esya habis tindakan di ruang operasi, masih dibawah pengaruh obat bius. Saya bisa membayangkannya, cerita dari Bang Juned (kalau saya tidak salah ingat), Kak Esya sudah berjam-jam di ruang operasi pasca melahirkan, karena ada sedikit masalah, ia juga mengalami pendarahan. Mungkin ada dari jam 4 subuh sampi jam 9 pagi, saya tidak begitu ingat, yang pasti sangat lama. Saya membayangkan perjuangan kakak saya setelah melahirkan Aubrielle.

Saya masuk ke ruangan tempat Kak Esya, dan saya melihat Kak Esya terbaring lemas di atas tempat tidur. Wajahnya sangat pucat, matanya sayu terbuka sedikit. Saya tahu dia melihat saya, tapi saya juga tahu dia masih belum punya kekuatan penuh untuk membuka mata sepenuhnya dan menggerakkan bibirnya. Saya lalu meletakkan buah-buahan yang sempat saya beli sebelumnya dan berjalan ke  arah Kak Esya. Saya langsung mencium keningnya dan pipinya. Bersyukur kakak saya sehat walaupun masih lemas. Saya tidak tahu secara langsung bagaimana perjuangannya semalaman. Tapi saya bisa membayangkannya dengan melihat keadaannya saat itu.  “Halo kakak sayang…” ucap saya.

Sebelumnya memang saya sempat saling telponan lagi dengan mama. Mama sangat khawatir dengan keadaan Kak Esya, walau bagiamanapun tetap mama yang paling mengerti Kak Esya, karena mama lah yang pernah melahirkan. Mama juga tahu bagaimana sakitnya dan sulitnya melahirkan dan pasca melahirkan. Mama berpesan agar saya menjaga Kak Esya. Mama sangat ingin datang dari Bengkulu ke sana. Tapi berkat hari ini benar-benar di luar prediksi, mama belum mengurus izin dari pekerjaanya begitu juga dengan Bapa tidak bisa mendadak berangkat.

Saya melihat Kak Esya ingin sekali berbicara, namun tidak ada kekuatan. Jika saya ingat hari itu saya sangat bersyukur atas kelahiran Aubrielle, tapi di sisi lain saya tidak tega melihat keadaan kakak saya. Membayangkan dia berjuang selama beberapa jam di ruang operasi, mengalami pendarahan, sampai melibatkan banyak dokter untuk mengambil tindakan. Seketika saya membayangkan bagaimana perjuangan mama saya dalam melahirkan empat orang anak. Sungguh, membuat diri sendiri ngilu setelah saya melihat keadaan kakak saya. Betapa besarnya perjuangan seorang ibu.

Saya tidak menyangka Kak Esya sungguh wanita yang sangat kuat. Saya tahu, anak perempuan pasti sangat menginginkan kehadiran ibunya dalam keadaan seperti ini, walaupun ada ibu mertuanya, tetap saja ia pasti sangat membutuhkan kehadiran mama. Tapi apa daya, mama tidak bisa datang pada hari itu juga.

Di sana ada ibu mertua Kak Esya, yang sudah menemaninya dari tadi malam. Di dalam kamar ada saya, Kak Esya, Bang Juned, dan Ibu mertua Kak Esya. Beberapa jam kemudian, tenaga Kak Esya berangsur pulih, ia sudah bisa duduk dan berbicara walaupun pelan. Saya sangat bahagia. Kak Esya masih belum sempat menggendong bayinya karena keadaanya yang masih lemas. Sore harinya, ketika ia sudah tidak lemas, suster membawa Aubrielle dari ruang bayi ke kamar kami. Aubrielle lalu diberikan ke pelukan Kak Esya, dan entah mangapa saya sangat terharu melihatnya.


Hingga malam hari, abang saya dan istrinya datang mengunjungi sepulang dari kantor. Kami berkumpul bersama dan berdoa bersama. Selama beberapa hari Kak Esya masih harus dirawat menunggu proses pemulihan. Sempat  saya yang bagian menjaga Kak Esya di rumah sakit karena Bang Juned saat itu shift malam dan mertua Kak Esya sedang mengurus persiapan pernikahan anaknya yang pertama.

Saat itu Kak Esya berkata, “gak nyangka ya dek, kakak udah punya anak aja..”

Saya tersenyum, semuanya tidak terasa, kami benar-benar di usia yang sudah dewasa. Perasaan baru kemarin kami bertengkar hanya karena berebut barang, baru kemarin kami  tertawa ala ABG karena hal-hal yang kami anggap lucu, baru kemaren kami masih sama-sama berangkat menuju sekolah, semua terasa baru kemarin. Sekarang, dia sudah menjadi ibu, dan saya menjadi tante. (Tante? Oh, saya benar-benar sudah tua haha).

Beberapa hari kemudian, kami mendapat berita kalo badan Aubrielle harus di sinar lagi karena kuning. Mungkin karena ia prematur kah? Kak Esya sangat panik, dan kami hanya bisa berdoa. Seiring berjalannya waktu, Aubrielle tumbuh semakin besar dan tidak terlihat seperti ia lahir dari berat badan 2,47 kg. ia tumbuh sangat sehat layaknya bayi normal biasa.


Jumat, 16 Oktober 2015

Pagi hari saya bangun, dalam keadaan kaki yang masih nyeri akibat keseleo kemarin. Saya mencoba mengingat-ingat ini hari apa. Iseng saya melihat notifikasi dari handphone saya. Kak Esya memposting sesuatu. Saya lalu buka, ternyata sebuah foto perayaan kecil-kecilan ulang tahun Aubrielle. Haha yah, hari ini ulang tahun Auby (panggilan untuk Aubrielle). Saya sudah ingat kemarin, bahkan saya sudah membeli kado titipan dari Kak Lidya untuknya. Tapi pagi hari memang tahap untuk pemulihan memori haha.

Hari ini tepat satu tahun Aubrielle. Dulu saat lahir badannya boleh kecil, tapi siapa yang menyangka kalau sekarang dia sangat jago memanjat, cepat sekali merangkak, sudah bisa berdiri, dan hobi menarik-narik kaca mata saya haha. Dia suka memegang apapun. Semangatnya untuk mencapai apapun yang diinginkannya patut dicontoh haha. Merangkak ke manapun, walaupun sampai kepalanya terbentur di mana-mana karena respon kehati-hatian dari bayi memang belum berkembang, tapi ia tidak menangis! Ia berdiri lalu terjatuh, lalu berdiri lalu terjatuh lagi, tapi ia tidak pantang menyerah. Semua perkembangannya sangat luar biasa. Sangat aktif.

Benar kata dosen saya, orang dewasa harus belajar dari bayi. Walaupun bayi sering jatuh saat belajar berjalan, kepalanya bahkan terantuk, tapi bayi tidak berhenti menyerah, terus berusaha.  Terima kasih Aubrielle sudah hadir di keluarga kami. Bayi kecil yang langsung memberikan sukacita untuk enam keluarga sekaligus. (Keluarga Kak Esya dan Bang Juned, Keluarga Bapa dan Mama saya, Keluarga dari mertua Kak Esya, Keluarga Abang saya dan istrinya, Keluarga Kak Lidya dan suaminya, serta keluarga Bang Alex (Abangnya Bang Juned) beserta istrinya). Kehadirannya memberikan tawa tiap kami berkumpul. Ketidakhadirannya memberikan kami rindu untuk menemukannya.



Tetap bertumbuh Aubrielle cantik, jadi anak yang takut akan Tuhan, sehat, cerdas, dan patuh pada orang tua. Seperti namamu, Aubrielle Faithy Nasya Maha, tetaplah tumbuh besar dalam iman, dan bersinarlah seperti malaikat.
Siang hari, kaki kiri selonjoran, leyeh-leyeh di kursi depan televisi.

Semester 4 adalah semester yang katanya paling tertekan, tapi dibalik ketertekanan (pengejaran deadline tesis atau harus bayar uang kuliah lagi) tersimpan hikmahnya, yaitu waktu yang sangat fleksibel hahaha. Waktu sangat fleksibel kerena sudah tidak ada jadwal kuliah, dan ini kesempatan kami (para mahasiswa tingkat akhir) untuk menyelesaikan penelitina tesisi. Kami mengagendakan sendiri jadwal kami, serta membuat target sendiri.

Tepat tanggal 12 Oktober lalu saya sudah selesai melakukan pengambilan data untuk penelitian tesis saya. Selanjutnya saya lebih memilih melakukan olah data dan menulis tesis ke kampus, perpustakaan atau tempat lain yang jauh dari rumah. Mengapa? Yah, karena magnet tempat tidur itu sangat luar biasa, ibarat tubuh saya adalah medan magnet positif, tempat tidur adalah medan magnet negatif. Ketika kami bersatu akan sulit dipisah haha.

Kemarin, di waktu yang sangat fleksibel, saya memutuskan untuk melanjutkan clearing kusioner (merapikan data dan perhitungan yang ada di kusioner hasil wawancara dengan responden) di kampus setelah sebelumnya mendapat bantuan dari teman hampir setengahnya. Karena panjangnya intro sebelum melakukan aktivitas (leyeh-leyeh di tempat tidur, buka-buka sosmed, sarapan, beli token listrik, dll), saya terpaksa berangkat ke kampus sekitar pukul 10.30 setelah sebelumnya mengatakan pada teman akan ke kampus pukul 09.30 hehehe.

Hari itu saya membawa motor ke stasiun, dan memarkirnya di tempat penitipan motor. Saya berjalan menuju gate, sebelumnya harus melewati tangga yag letaknya ada dibagian belakang peron stasiun. Entah apa yang saya pikirkan, mungkin saat itu saya sedang melamun (memikirkan hal yang memang beberapa hari ini muncul dipikiran), saat kaki saya melangkahi anak tangga, ternyata kaki saya kurang terangkat tinggi. Alhasil saya langsung tersandung, jatuh, dan kaki saya keseleo. Sepatu sneakers saya langsung lepas, dan celana jeans saya berlumuran pasir (haha ini bukan pertama kalinya saya jatuh seperti ini, tapi yang kesekian kalinya). Seketika kaki saya langsung terasa sakit, kemudian saya duduk sebentar di tangga. Saya mengambil sepatu saya dan memasangnya lagi.

Dari atas peron ada seorang ibu-ibu dengan dua orang anaknya, yang satu mungkin masih berusian satu tahun (digendong), dan yang satunya sekitar 3 tahun. Anak yang berusia 3 tahun mendekati teralis yang membatasi peron dan tangga tempat saya duduk. Anak itu memegang teralis dan melihat saya, dengan tampang polosnya ia berkata, “tidak apa-apa?”

Saya tersenyum melihat ke arahnya, wajah anak itu sangat datar. Inilah yang saya suka dari anak kecil, polos dan benar-benar bertanya tanpa ada maksud apa-apa. “Iya… tidak apa-apa..” jawab saya. Lalu anak itu berjalan sambil lalu. Untungnya lokasi itu sepi hahhaa jadi saya tidak perlu menanggung malu.

Kemudian saya berjalan menuju gate dengan menahan rasa sakit di pergelangan kaki kiri, agak terpincang. Untung masih bisa jalan, ujar saya dalam hati. Kemudian saya berjalan ke peron untuk menunggu kereta, berpikir apakah saya akan mendapat tempat duduk? Apakah kereta ramai? Sepertinya saya butuh tempat duduk kali ini. Tak lama kereta datang, dan untungnya saya mendapatkan tempat duduk, kereta tidak terlalu ramai. Sampai di Stasiun Duri, saya harus  transit, dan berpikir apakah saya akan mendapatkan tempat duduk lagi, dan tepat pas kereta transit datang, saya mendapatkan tempat duduk. Untung saya masih mendapat tepat duduk.

Pada akhirnya saya sampai di kampus dan menuju perpustakaan dengan jalan yang masih sedikit pincang. Saya bertemu kedua orang teman saya yang juga sedang mengerjakan progres tesisnya. Kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Saat jalan ke kantin saya mulai merasa kaki terasa makin nyeri hahaha. Puncaknya pas kembali lagi ke perpustakaan, saya membuka sepatu saya dan melihat ukuran kaki kanan dan kiri sudah berbeda. Untung saya tidak sendirian saat itu, saya bersama dua orang teman saya. Mereka lalu menawarkan diri untuk membelikan cream pereda nyeri, setelah sebelumnya saya menempel koyo cabe di pergelangan kaki (yang dibeli di koperasi dekat kantin saat makan siang) dan saya tidak merasakan panas apa-apa.

Selagi menunggu teman saya kembali, saya mencoba berjalan, dan ternyata kaki kiri saya terasa sakit ketika ditapakkan ke lantai. Hahaha, mau tidak mau saya berjalan seperti lompat kodok, atau seperti belajar kungfu, melatih keseimbangan. Kedua teman saya tertawa saat sudah kembali melihat saya berlagak menirukan gaya kungfu dengan satu kaki atau menirukan gerakan yoga gagal haha. Selama di perpustakaan, terpaksa saya tidak bisa melakukan apa-apa karena nyeri yang berdenyut-denyut. Salah satu teman saya lalu menawarkan film untuk ditonton, ia mengcopy film dari laptopnya dan memasukkannya melalui USB ke laptop saya. Dengan kaki selonjoran di atas kursi (tingkah yang harusnya tidak dilakukan di perpustakaan) saya menonton film komedi yang diberikan teman saya, cukup mengurangi rasa sakit. Teman saya juga lalu membantu memijit kaki saya hahaha untung punya teman-teman yang baik hati (Kak Aci dan Nastiti.. aku padamuuu).

Hingga akhirnya saya bingung harus pulang ke rumah bagaimana. Perjalanan dari kampus ke rumah cukup jauh, dan saya harus naik kereta yang notabene akan sangat ramai pada saat jam pulang kerja. Untung ada ojek online. Saya lalu memesan salah satu ojek online dan minta dijemput di depan perpustakaan. Untung abang ojeknya mau menjemput masuk, sehingga saya tidak perlu bersusah payah jalan ke pintu keluar kampus (yang terasa sangat jauh karena keadaaan kaki yang seperti ini). Saya lalu berpamitan dengan kedua teman saya dan lanjut menikmati perjalanan dengan abang ojek.
Tantangan selanjutnya adalah, saya harus mengambil motor yang saya titipkan di stasiun. Keadaanya adalah, abang saya masih di kantor sampai malam, dan kakak ipar saya sedang di luar negeri, tadaaaa saya harus mengerjakannya sendirii. Sesampai di Tangerang saya langsung meminta abang ojek mengantarkan saya ke tempat penitipan motor. Saya turun dari motor abang ojek, membayar dan berjalan ke arah penitipan motor. Bapak penjaga yang sudah kenal dengan saya langsung menyambut,

“Lah neng, kenapa jalannya pincang?” Tanya si Bapak.

“Iya pak, tadi saya jatoh, keseleo mungkin hehe, boleh minta tolong motor saya dikeluarin pak?” ujar saya.

“Oh iya neng, Bapak bantu.. wah, harus dibawa ke tukang urut neng, sebelum bengkaknya parah..” kata si Bapak sambil mengeluarkan motor saya, beliau tahu saya akan kesusahan mengeluarkan motor dalam keadaan seperti ini.

“Iya pak, ini mau langsung ke tukang urut hehe..” jawab saya.

“bisa neng bawa motornya?” Tanya si Bapak lagi.

“Bisa pak, untung yang sakit cuma kaki kiri, bukan dua-duanya haha..”jawab saya.

“Oh iya ya neng.. haha” tawa si Bapak.

“Untung juga saya bawanya motor matic  Pak, repot kalo bawa motor bebek haha,” kata saya lagi sambil membayangkan jika saya membawa motor bebek yang mengharuskan kaki kiri mengover gigi.

“Hahahaha, iya juga ya neng, semuanya serba untung..” ujar si Bapak.

Saya menaiki motor dengan hati-hati dan berpikir sejenak. Benar juga kata si Bapak, semuanya serba untung. Seharian ini, saya tidak mengeluhkan sakitnya kaki yang membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak produktif.

Saya lalu berpamitan dengan si Bapak, dan menjalankan motor dengan sangat hati-hati. Untung di dekat rumah ada ruko yang bertuliskan pijat tradisional. Tapi sebelumnya saya agak ragu ke sana, takut tukang urutnya adalah laki-laki. Saya pada akhirnya menelpon abang saya yang di kantor dan bertanya saya baiknya mengurut kaki saya di mana. Pada akhirnya saya memutuskan mencoba ke pijat tradisional itu. Saya masuk ke dalam, dan untungnya mereka punya pemijat wanita hahaha. Kaki saya lalu diurut, dan pemijatnya sangat ramah dan baik. Untung bertemu dengan tukang pijat yang baik.

Setelah sedikit meringis dan menahan teriak karena pijitan, bengkak kaki saya mulai berkurang dan kaki saya terasa mendingan. Kata mba pemijatnya, untung saya langsung datang ke sana pas belum  terlalu parah. Saya lalu kembali ke rumah, namun dengan kaki yang sedikit pincang dan saya lapaar. Abang saya menelpon menanyakan keadaan saya, dan saya mengatakan keadaan saya sudah membaik. Lalu dia menawarkan untuk membelikan makan malam. Untung ada abang saya yang siap menjadi obat pereda lapar haha.

Hari itu semuanya serba untung. Apalagi untungnya juga saya sudah selesai mengambil data (penganbilan data saya membutuhkan tenaga untuk berjalan kaki). Walaupun tidak dapat melakukan apa-apa di hari itu, dan mungkin tidak bisa kemana-mana selama beberapa hari ke dapan, saya tetap merasa untung. Bahkan dalam tulisan ini saya sudah mengeluarkan lebih dari 20 kata untung hahaha. Apapun yang terjadi hari itu ternyata saya menikmatinya saja. Tak tahu mengapa, tapi entahlah, semuanya serba untung.

Keesokan paginya, mama saya menelpon dan saya menceritakan insiden kemarin. Dan tahu apa tanggapan dari mama saya?

“Tuh kan, kamu itu udah sering banget jatuh, jalanmu itu suka ga benar, coba jalannya kayak model, belajar jalannya kayak model”


Mendengar pernyataan mama, saya hanya diam dan berkata, “oke ma, semoga bisa jalan kayak model, hahaha.”

Rabu, 14 Oktober 2015

Sudah hampir dua tahun saya hidup sebagai masyarakat commuter. Mungkin ada yang belum memahami apa itu masyarakat commuter? Nah, kira-kira pengertiannya adalah masyarakat yang tinggal di wilayah hinter land Ibu Kota Jakarta, yaitu (Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, dan Bogor), namun melakukan aktivitas (pada hari kerja) di Jakarta pada siang hari. Umumnya masyarakat commuter lebih memilih menggunakan transportasi Commuter Line (KRL Jabodetabek), mereka akan berangkat pagi, dan kembali ke wilayah mereka di malam hari. Nah, kira-kira hal inilah yang membuat jumlah penduduk Jakarta berbeda pada siang hari dan malam hari. Berdasarkan salah satu buku yang saya baca yaitu buku “Mengapa Jakarta Banjir?” terbitan Tim Mirah Sakethi tahun 2009 (dapat diakses di website BPBD Jakarta), jumlah penduduk di Jakarta pada malam hari (penduduk asli Jakarta) berjumlah 9 juta jiwa. Pada siang hari, jumlah penduduk membludak menjadi 14 juta jiwa (karena sudah ditambah masyarakat commuter).  Nah, saya kemungkinan besar belum termasuk dalam 14 juta jiwa ini, haha.. karena ini data tahun 2009. Pastinya, tahun 2015 jumlahnya semakin besar! (maafkan saya, sedang malas mencari datanya).

Layaknya masyarakat commuter, saya berangkat pagi-pagi dari lokasi tempat tinggal saya yaitu Kota Tangerang menuju Jakarta untuk kuliah. Berangkat di jadwal kereta yang sama hampir tiap harinya membuat saya hampir tahu wajah-wajah yang sering berangkat bersama saya dalam gerbong yang sama. Perjalanan saya dimulai dari Stasiun Batu Ceper (stasiun terdekat dari rumah), menuju Stasiun Duri, lalu saya transit (pindah kereta) menuju Stasiun Manggarai. Hampir setiap hari kerja seperti itu.
Suatu ketika di pagi hari (pada saat itu saya semester 2, tulisan ini dibuat saat saya sudah semester 4), saya berangkat menuju kampus, dan saya merasa menjadi orang paling bodoh dan tolol. Pada saat saya sudah berangkat dan sampai di stasiun duri untuk menunggu kereta transit, saya melihat ada seorang kakek tua berjalan melintasi rel karena ingin berpindah jalur. Sepertinya kakek tua ini tadi berangkat naik kereta yang sama dengan saya dari Tangerang, dan hendak berpindah ke jalur 1 (pada saat itu saya sedang menunggu kereta transit saya di jalur 2).

Kakek tua ini sepertinya sudah tidak bisa melihat dengan normal. Beliau menggunakan tongkat untuk membantu menuntun dirinya sendiri agar tidak menabrak sesuatu yang tak bisa dilihatnya. Tahukah apa yang ada dipikiran saya saat itu? Saya berpikir “separah itu kah orang-orang di stasiun ini, tidak ada yang mau membantu menuntun si kakek? Bahkan petugas pun tidak ada?” Sekilas saya melihat orang-orang di sekitar saya juga melihat hal yang sama, sebersik saya mendengar seorang ibu bergumam “kasian kakek itu ga ada yang nolongin”, beberapa hanya melihat dengan tampang iba. Catat tampang iba, but no action!

Dan tahukah, saya langsung menyadari saya adalah salah satu dari mereka semua yang di stasiun! Saya adalah salah satu bagian dari orang-orang bodoh dan tolol yang hanya melihat, tanpa membantu! Apa yang ada dipikiran saya saat itu? Apa yang ada dipikiran saya sehingga membuat badan kaku dan berpikir terlalu panjang untuk menolong orang lain. Entahlah, saya baru menyadari betapa bodohnya saya tepat pada saat sang kakek sudah mencapai jalur 1, padahal cara berjalan sang kakek sangat pelan, ya pelaan sekali, karena keterbatasan fisiknya. Saya tidak akan pernah melupakan kebodohan saya di hari itu. Hingga pada saat kereta transit saya datang dan saya naik ke dalam kereta, saya bergumam dalam hati minta ampun pada Tuhan atas kebodohan saya, berjanji tidak perlu segan untuk menolong orang yang memang perlu bantuan, terutama orang tersebut ada di depan mata saya.

Hari berlalu, dan tidak terasa saya sudah memasuki semester 3. Dia awal semester, saya terjebak menjadi bagian dalam kepengurusan himpunan mahasiswa (himma) program studi. Program pertama yang diadakan adalah kuliah umum dan penyambutan mahasiswa baru S2 dan S3. Acara itu diadakan pada hari Sabtu (saya lupa tanggalnya) sekitar pertengahan Februari 2015. Acara dimulai pukul 07.00 WIB, dan saya sebagai panitia harus hadir paling lambat pukul 06.30 WIB. Perjalanan dari rumah ke kampus (tentunya dengan menggunakan kereta) memakan waktu sekitar 1,5 jam, berarti saya harus berangkat dari rumah pukul 05.00, dan kereta pertama dari Stasiun Batu Ceper ada pukul 05.20. Malam harinya Bapa saya sudah menawarkan diri untuk mengantarkan saya ke stasiun dan saya menerima tawaran itu.

Nah, lucunya, sampai pukul 01.00, saya belum bisa tidur. Kalian tahu karena apa? Masih ingat fenomena gaun biru hitam dan gaun putih emas? Ya! Haha gara-gara si gaun itu, saya sibuk berdebat dengan teman-teman saya di beberapa grup yang ada di akun Whatsapp dan Line saya, hahaha. Alhasil, saya bangun telat, dan mungkin tidak akan bangun jika tidak dibangunkan Bapa saya.

“Boru, gak jadi kau berangkat? Ini udah jam 5..” sapa Bapa saya lembut.

Saya membuka mata dan melotot saat melihat jam di handphone menunjukkan pukul 04.55. Oh my God! Kereta pertama jam 5.20! Cadas! Refleks, saya langsung siap-siap mandi koboy, dan berhasil berangkat keluar dari rumah pukul 5.15. Bapa saya mengantarkan saya dengan menggunakan motor menuju stasiun. Pada saat kami sedang melewati jalan raya yang memang bersebelahan dengan rel, tiba-tiba kereta yang akan saya naiki melintas, dan saya langsung memohon Bapa saya untuk mempercepat laju motor. Namun, apalah arti kecepatan motor matic 110cc dibanding dengan kecepatan kereta listrik! Aissh! Dan saya sampai di depan stasiun dengan menatap kepergian kereta 5.20 yang hendak saya naiki. Nasib, dan saya pun terpaksa menunggu kedatangan kereta selanjutnya pukul 5.50.

Setelah saya berpamitan dengan Bapa, saya masuk menuju gate. Saya langsung masuk ke peron dan duduk di kursi tunggu. Hanya saya sendiri di peron, dan sangat sepi, karena hari itu hari Sabtu (bukan hari kerja), para warga commuter pasti akan lebih memilih menikmati tidur hingga siang, melampiaskan kelelahan bekerja selama 5 hari. Sambil mencoba mengeluarkan handphone dan memasang headset ke telinga, saya tidak sengaja melihat ke arah gate, seorang kakek tua berjalan dengan menggunakan tongkatnya menuju peron. Saya melihat sebentar lalu menoleh ke arah lain (mungkin saat itu saya belum sadar). Sang kakek sedang dituntun petugas, namun hanya sebentar, si petugas kembali ke kursi singgasananya, dan sang kakek berjalan mendekati saya.

Sang kakek berjalan dengan pelan, dan saya kembali melihat ke arahnya. Dan, oh my God! Saya baru sadar, beliau adalah sang kakek yang saya lihat beberapa waktu lalu di Stasiun Duri itu. Ya, saya yakin, saya tidak salah. Saya adalah pengingat (memori) yang baik. Saya tidak pernah menyangka diberikan kesempatan bertemu dengan sang kakek, saya ingin menebus kebodohan yang sudah saya lakukan sebelumnya, walaupun kebodohan yang saya lakukan dulu tidak akan mungkin bisa ditebus dengan apa saja yang saya lakukan. Saya langsung memasukkan handphone dan headset ke tas, kemudian menghampiri kakek.

“Pagi kek, saya bantu ya..” sapa saya langsung kepada kakek. Si Kakek tersenyum, matanya sangat sayu, garis keriput di wajahnya tertarik urat-urat wajahnya kerena iya tersenyum. Senyumnya tidak lebar, tapi saya tahu, beliau tersenyum. Saya memegang lengannya, dan menuntunnya ke kursi tunggu.

“Kakek mau ke mana?” tanya saya. Beliau terlihat seperti berusaha melihat wajah saya. Saat itu cahaya matahari masih remang-remang, dan lampu stasiun tidak begitu terang.

“Saya mau ke Jakarta Kota, nak,” Jawab kakek. Matanya seperti ingin melihat saya, tapi sorot matanya tidak mendapatkan wajah saya. Beliau seperti melihat ke arah lain.  

“Kakek sendiri?” tanya saya. Beliau mengangguk.

“Nak mau kemana?” tanya beliau balik.

“Kita berbeda arah kek..saya mau ke Manggarai kek..  tapi nanti saya akan antarkan Kakek ke Jalur Jakarta Kota,” jawab saya. Dari duri, kereta menuju Jakarta Kota terdekat harus menggunakan kereta yang ke arah stasiun Kampung Bandan. Dari sana, beliau harus transit lagi menuju kereta Jakarta Kota. Sebenarnya saya sangat ingin mengantarnya, namun saya mengingat kewajiban utama saya yang harus saya kerjakan di kampus, dan saya juga sedang dikejar waktu. Tapi saya yakin, walaupun saya tidak bisa menolong si kakek sampai pada tujuannya, saya pasti bisa membantunya walaupun hanya sedikit.

Beberapa saat kami berdua terdiam. Tiba-tiba beliau mengeluarkan satu lembar uang Rp 10.000 dan dua lembar uang Rp 2.000, kemudian memanggil saya.

“Nak, mata saya tidak bisa melihat dengan jelas, ini uang yang ada di tangan saya ada berapa?” Tanya beliau.

“Oh, yang ini Rp 10.000 kek,“ jawab saya memegang uang sepuluh ribu dan menaruhnya di tangan kirinya, “kalau yang ini dua-duanya Rp 2.000 kek..” lanjut saya meletakkan uang itu di tangan kanannya.

Mata sang kakek memandang kosong dan mengangguk-angguk, “ini Rp 10.000,” ia menggerakkan tangan kirinya, “ini Rp 2.000,” ia lalu menggerakkan tangan kanannya.

“Iya kek..” sahut saya. Kemudian saya melihat si kakek memasukkan uang-uang itu ke masing-masing saku celananya kiri dan kanan. Saya berpikir, apakah si kakek hanya mengantongi uang segitu? Dan ia mau ke Jakarta. Saya hanya bisa diam, bingung, ingin bertanya lebih tapi saya takut menyinggung perasaaanya. Tindakan saya jika tiba-tiba memberi uang kepadanya juga tidak bisa dikatakan bijaksana. Saya lebih memilih diam dan memutuskan untuk melakukan permintaan tolong apa yang diujarkannya.

“Kakek ke Jakarta mau ngapain, kek?” Tanya saya.

“Mau ada kerjaan..” jawabnya sambil tertawa kecil. Saya bingung, apa yang akan dikerjakan kakek? Saya ingin bertanya lagi, tapi saya takut lancang.  Kami berdua lalu terdiam, tapi banyak pertanyaan muncul di kepala saya.

Beberapa saat kemudian, pengumuman stasiun menyiarkan kereta tujuan Duri akan segera masuk di jalur 2. Mengingat langkah kakek yang sangat pelan, saya lalu memegang lengan kakek.

“Kek, yuk kita jalan ke depanan, keretanya sebentar lagi sampai, kakek pegang tangan saya saja ya..saya tuntun kakek..” kata saya, dan kakek tersenyum.
Tak lama kereta datang, dan pintu kereta terbuka di depan kami. Saya menuntuk kakek dengan pelan..beliau memegang lengan saya erat, dan saya memegang lengannya. Tangannya yang satu memegang tongkat. Saat kami sudah masuk, saya langsung menuntunnya ke arah kursi prioritas di pojok gerbong. Saya mempersilahkan beliau duduk di sana.

“Kakek, kakek duduk di sini ya, ini kursi prioritas kek, saya lebih pantas duduk di kursi yang sebelah sana,” tunjuk saya kea rah kursi kosong yang tidak jauh dari kursi prioritas, berharap mata sang kakek setidaknya dapat melihat arah jari saya. “Saya tetap duduk di dekat kakek, saya akan perhatikan kakek, nanti pas sudah mau turun saya akan datang ke kakek ya..” ujar saya. Sang kakek tersenyum dan mengangguk. Saya sudah lama memilih tidak duduk di kursi prioritas jika kursi-kursi yang lain kosong, karena kursi itu bukan hak saya, itulah saya memilih untuk tidak duduk bersebelahan dengan kakek.

Saya berjalan duduk di kursi yang tidak jauh dari kakek. Kereta pagi itu tidak ramai, tidak seperti pagi hari kerja, di mana orang yang duduk di kursi sambil tidur, atau pura-pura tidur, dan yang berdiri pun bisa tidur. Saya duduk di kursi dan sesekali memperhatikan kakek. Sang kakek duduk di kursinya, namun sorot matanya mengarah ke tempat duduk saya. Sorot matanya kosong, saya tidak yakin dia dapat melihat saya dengan jelas. Dua puluh lima menit kemudian kereta tiba di Stasiun Duri. Sebelum kereta berhenti, saya menghampiri kakek dan duduk di sebelahnya.

“Kek, kita sudah mau sampai, kakek ikut saya ya..” ujar saya. Saya memegang lengan kakek, dan kakek mengikuti saya berdiri. Pada saat kereta sudah benar-benar berhenti, saya melangkah bersama kakek. Saya menuntun kakek dengan pelan dan hati-hati, melewati celah peron dengan kereta, berjalan menuruni tangga, dan menyebrang rel kerta menuju jalur 1. Ada rasa bahagia saya bisa bertemu lagi dengan kakek dalam keadaan saya dapat menolongnya.
Hingga sampai di jalur satu ada seorang ibu mendekati saya dan berkata, “kakek ini mau ke mana?” saya melihat ke arah ibu.

“Kakek mau ke stasiun Jakarta Kota, bu.. tapi saya beda arah, saya mau ke Manggarai, “ Jawab saya.

“Yasudah, kakeknya biar saya yang tuntun..” kata si ibu sambil senyum.

“Wah terima kasih bu..” ujar saya, lalu saya berkata pada kakek, “Kakek, saya hanya bisa mengantar sampai sini ya.. kakek selanjuntnya sama ibu ini.. maaf ya kek..”

Si kakek tersenyum dan mengangguk, “iya nak, terima kasih ya..” jawabnya.

“Kakek hati-hati ya..” kata saya. Si kakek mengangguk dan masih tersenyum. Saya lalu berpamitan dengan kakek dan si ibu, kemudian kembali menyebrang rel menuju jalur 2. Tak lama, kereta menuju Manggarai (kereta yang saya mau naiki) tiba terlebih dahulu, saya tidak sempat melihat kakek dan ibu lagi karena pandangan sudah tertutup badan kereta. Disitulah terakhir saya bertemu kakek.

Di jalan saya merasa bersyukur dapat kesempatan bertemu kakek, walaupun saya hanya bisa menolong sedikit, saya juga tahu kapasitas saya. Mungkin saya tidak bisa membantu lebih, tapi setidaknya apa yang bisa saya lakukan saat itu, saya akan lakukan.
Saya tidak menyangka, karena saya ketinggalan kereta saya bisa bertemu si kakek. Mungkin jika saya tidak bertemu kakek, saya akan ngedumel karena nyesek ketinggalan kereta dan pasti akan telat. Saya justru merasa bahagia karena bisa membantu walaupun hanya sedikit. Sampai di staisun Duri pun ketakutan saya akan perjalanan Kakek hilang karena ada tawaran bantuan dari seorang ibu-ibu baik hati. Niat baik pasti ada jalannya haha!

Lantas, apa makna dari cerita ini? Yah, saya belajar untuk tidak menunda-nunda perbuatan baik. Jika memang kita bisa bantu, mengapa harus ditunda. Terkadang rasa segan, gengsi, malas, atau bahkan tidak peduli sering saya lakukan. Tapi saya tahu itu tidak baik. Kembali, si kakek mengingatkan saya untuk tidak boleh menunda perbuatan baik. Kesempatan pertama saya tunda, namun tidak boleh di kesempatan kedua. Mengapa saya harus bertemu si kakek kedua kalinya, di kala hanya kami berdua saja di stasiun? Mungkin karena memang saya harus ikut membantunya. Dan saya benar-benar bersyukur.


“Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika tidak kita akan menjadi lemah” (Galatia 6:9)
Percakapan saya dan mama saya setahun yang lalu menjelang tanggal 8 Agustus 2014 (tahun lalu). Saat itu kami (saya, mama dan bapa) sedang bersiap-siap untuk melakukan perjalanan dari Bengkulu menuju Jambi dengan menggunakan mobil pribadi.

“In, tahun ini usiamu berapa tahun?” Tanya mama.
“23 ma,” jawab saya, padahal dari hati saya yakin mama sudah tahu sebentar lagi usia saya akan genap 23 tahun.
“Oo, mama dulu nikah umu 22,” ujar mama sambil senyum-senyum.
“Oo, mama mau iin nikah? Yaudah tinggal berenti kuliah aja, gimana?” Jawab ku asal, lalu kami tertawa.

Percakapan yang hampir sama pun mulai terjadi di tahun ini (2015), tepatnya kembali menjelang tanggal 8 Agustus. Percakapan kali ini antara saya dan kakak perempuan saya yang nomor tiga, beliau sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang anak. Jarak usia kami hanya selang 2 tahun, dan kami memang sangat dekat.

“Dek, kamu sekarang 24 tahun ya?” Tanya dia, dan saya yakin itu adalah pertanyaan retoris.
“Iya,” jawabku singkat.
“Kakak dulu nikah umur 24,” nadanya menggoda.
“Iya iin tahu, terus?” Tanya saya balik.
“Gak, ngasih tahu aja..” jawabnya lalu.

Pertanyaan mengenai hal ini memang sudah saya perkirakan akan muncul bertubi-tubi sejak semua abang dan dua orang kakak saya sudah menikah. Tinggallah saya si bontot yang belum menikah, di usia yang sudah 24 tahun ini haha. Dan sudah pasti tentunya, semua doa yang muncul lewat sms, whatsapp, bbm, dan facebook tidak jauh dari seputar hal “tabu” ini haha.
Saya jadi ingat doa dari teman dekat saya yang sedang mendekam di tengah hutan provinsi Jambi karena pekerjaan, namanya Paul, tapi saya lebih suka memanggilnya Paulina =P. Hampir beberapa  tahun belakangan dia selalu mengucapkan selamat ulang tahun paling pertama. (Entah karena beberapa kali dia sedang berada di bagian WITA, atau memang dia kerajinan). Ucapan dan doa dari dia yang paling membuat saya berkesan adalah

“Selamat ulang tahun buat bendahara rempong gw..hahaha. Semoga cepat kelar S-2nya, lancer rejeki, dan ‘HAL YANG HARAM DITANYAKAN’ cepet datangnya, muahaha..God bless :D”

Saya sangat terkesan dengan kata-kata “hal yang haram ditayakan” hahaha, saya bingung itu beneran doa atau sebuah ejekan hahaha. Dan bukan hanya Paul yang menyinggung hal itu, tapi juga hampir semua ucapan dan doa dari teman-teman yang lain.

Kira-kira itulah hal heboh yang menyambut genapnya usia saya yang ke 24 tahun ini, hahaha. Ulang tahun yang 24 tanggal 8 Agustus lalu, seperti biasa selalu sederhana. Saya juga bukan tipe yang terlalu mengistimewakan ulang tahun sendiri. Cukup mendapatkan doa dari orang-orang yang dikasihi saja sudah cukup. Tanpa perlu kue ulang tahun, ritual tiup lilin, dan buka membuka kado. Saya ingat kata-kata Bapa saya, “di usia mu yang segini, bukan saatnya lagi menantikan kue dan tiup-tiup lilin.” Ya, saya sangat setuju dengan Bapa.

Saya sangat bersyukur untuk usia saya yang ke 24. Kado terindah saya di usia ini adalah saya bisa berdoa bersama di pagi hari dengan Mama dan Bapa saya di rumah tempat saya dilahirkan (Yap, di Kota Bengkulu). Pagi hari saya dibangunkan dengan nyanyian “panjang umurnya”, dengan senandung merdu Bapa dan tepuk tangan dari Mama. Mereka berdua masuk ke kamar saya dan duduk di tempat tidur saya, lalu mengajak saya berdoa bersama. Hal hangat yang selalu saya rindukan dan saya akan selalu rindukan. Saya sengaja menunda keberangkatan saya kembali ke Jakarta (dengan konsekuensi mundurnya jadwal penelitian) karena saya ingin merasakan suasana ini. Saya sangat menantikannya, karena saya tidak tahu apakah tahun depan saya bisa kembali merasakan ulang tahun seperti ini? Haha karena saya membayangkan tahun depan saya mungkin akan jauh dari orang tua saya (hanya masih bayangan…)

Tepat pada pukul 00.00 sebelumnya, saya duduk terdiam di kamar, merenung, apa yang harus saya syukuri dari usia yang ke 24 ini? Dan apa yang sudah saya lakukan selama 24 tahun ini? Jawabannya adalah, begitu banyak yang sudah diberikan Tuhan, tapi saya belum melakukan apa-apa. I’m still nothing. I’m nothing. Sangat keterlaluan jika saya tidak mensyukuri setiap pemberian diberikan Tuhan.

Pertama, saya sangat bersyukur Tuhan sudah memberikan keluarga yang sangat mengasihi saya. Bapa dengan sifatnya yang hangat, bijaksana, mengayomi, peduli, dan tidak pernah mengeluh. Tiap pagi selalu rajin menelpon saya (jika saya berada jauh darinya), 3 hal utama yang sellu ditanyakan “Halo, boru? Sudah Berdoa? Sehat? Uang mu masih cukup?” (pertanyaa favorit saya adalah pertanyaan yang ketiga) haha.

Mama, dengan sifatnya yang tegas, teliti, perfeksionis, gesit, master of multitasking dan guru yang luar biasa. Dibalik sosoknya yang dipandang orang-orang sangat tegas, tersimpan jiwa hangatnya. Hahahha walaupun kami hobi berdebat, tapi selalu cepat untuk berbaikan (walaupun terkadang saling gengsi, dan berujung bahan candaan).

Abang Olan, sosok teladan dalam ketekunan. Dia sangat tekun dan ulet dalam berdoa dan berusaha. Ditambah sifat selengek’annya yang membuat saya cocok dengannya.
Kak Lidya, sosok kakak yang sangat cantik, penyabar, penyayang dan tenang, namun lugu. Saking tenangnya, Abang Olan pernah mengatakan “walau seribu rebah di kiri dan sepuluh ribu rebah di kanan Kak Lidya tetap selalu tenang, namun orang-orang disekelilingnyalah yang gergetan hahaha.
Kak Esya, sosok perfeksionis selanjutnya. Sangat detail dan kritis. Saya paling dekat dengannya, mengingat kami paling lama hidup bersama (jarak usia yang hanya 2 tahun).
Dan Tuhan sudah menambah jumlah keluarga kami, kakak ipar saya Kak Berni (Istri Abang Olan), dan 2 abang ipar Bang Edi (Suami Kak Lidya), dan Bang Juned (suami Kak Esya). Tidak ketinggalan si kecil Auby (anak Kak Esya dan Bang Juned).

Saya sangat bersyukur atas keluarga yang Tuhan berikan untuk saya. Saya bersyukur saya bisa menikmati masa bertumbuh menjadi dewasa bersama saudara-saudara saya. Dari ketika kami masih kecil bermain bersama di rumah, hingga sudah punya kehidupan rumah tangga sendiri-sendiri (kecuali saya, belum haha).

Kedua, saya juga sangat bersyukur untuk kesempatan pendidikan yang saya kerjakan sekarang. Saya bukan siapa-siapa, dan saya bukan apa-apa. Tapi saya tahu, Tuhan ingin pakai saya. Maka saya akan jalankan kesempatan ini. Walaupun beberapa kali saya lupa bersyukur, dan justru mengeluh karena tantangan dunia kuliah pascasarjana, tapi biarlah semua Tuhan pimpin. Kembali, saya bukan apa-apa, saya masih jauh dari keahlian. Semakin saya terlibat semakin dalam di jenjang pendidikan ini, saya semakin merasa saya tidak ada apa-apanya. Yang hanya saya bisa lakukan adalah belajar, belajar dan belajar.

Ketiga, saya sangat bersyukur untuk persahabatan bertahun-tahun yang Tuhan berikan kepada saya. Tuhan memberikan saya teman-teman yang sudah saya kenal sejak saya SMP, SMA, dan masih terpelihara hingga sekarang. Yang patut saya syukuri adalah, mereka adalah orang-orang yang sangat luar biasa, saya tidak menyadarinya dari lama, bahwa saya sudah dikeliling oleh orang-orang yang bervisi sejak saya SMP.

Keempat, saya sangat bersyukur saya diberikan komunitas KTB bersama teman-teman saya pada saat S1. Kembali, mereka adalah orang-orang yang sangat luar biasa. Latar belakang kami pun berbeda-beda, baik itu latar belakang keluarga, bidang kemampuan, serta bakat. Tapi Tuhan mempertemukan kami dalam komunitas ini, perjuangan tiap sebulan sekali untuk bertemu sharing hidup dan Firman. Terkadang total waktu perjalanan kami untuk bertemu lebih lama dari pada waktu yang kami habiskan untuk bersama. Tapi sukacita saat kami berkumpul itu obat semuanya.

Kelima, saya sangat bersyukur pernah terlibat dalam pelayanan siswa Bogor. Saya sangat banyak dibentuk dari pelayanan itu. Mental, pola pikir, kesabaran, dan perjuangan. Saya juga belajar untuk keluar dari zona nyaman, dan saya bertemu dengan teman-teman yang luar biasa. Baik itu kakak-kakak kelas saya, teman seangkatan, dan adik-adik kelas. Bertemu dengan siswa-siswa Bogor dengan berbagai macam ceritanya. Belajar bagaimana menghadapi sikap orang yang berbeda-beda, mengontrol dan mengendalikan diri, banyak hal, banyaaaak, banyak sekali, sungguh saya sangat bersyukur.

Keenam, saya sangat bersykur dengan teman-teman yang luar biasa di S1. Saya banyak mendapatkan sahabat-sahabat dari berbagai komunitas, yang selalu siap sedia menjadi pendengar dan penegur kapanpun di mana pun. Bahkan di S2, saya menemukan teman-teman luar biasa. Orang-orang pintar yang tidak pernah segan membagikan ilmunya. Mereka dari latar belakang ilmu yang berbeda-beda (berhubung saya terlibat dalam disiplin ilmu yang bersifat mutidisiplin), dan berasal dari dunia pekerjaan yang berbeda. Saya belajar melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang dan betapa saya makin merasakan bahwa saya tidak ada apa-apanya.

Ketujuh, saya sangat bersyukur dengan dosen-dosen yang luar biasa. Kesempatan berharga saya bertemu dengan para pakar-pakar yang sangat rendah hati dan cerdas. Bahkan beberapa di antaranya bukan hanya sekedar dosen, tetapi juga GURU. Yah, Guru! Benar-benar mendidik secara ilmu, etika, dan filosofis.

Ke delapan, saya sangat-sangat bersyukur dengan semua talenta, kesehatan, kecukupan dan keceriaan yang Tuhan berikan pada saya. Tapi tetap, saya tidak ada apa-apanya.

Ke Sembilan, saya sangat bersyukur atas semua pengalaman yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Saya sempat merasakan tinggal di asrama bertemu berbagai macam teman dari Sabang sampai Merauke. Saya sempat merasakan asistensi PA, terlibat dalam berbagai kepanitiaan, organisasi, proyek penelitian, pekerjaan sambilan dan lain sebagainya. Tapi tetap, saya tidak ada apa-apanya.

Dan Kesepuluh, saya sangat bersyukur sampai saat ini Tuhan masih memberikan hati pada saya untuk terus setia mendoakan pekerjaan apa yang akan saya kerjakan nanti. Tidak ketinggalan, Tuhan juga masih memberikan hati pada saya untuk terus setia mendokaan “hal yang awalnya dianggap haram” hahaha, yap, pasangan hidup dari Tuhan. Saya bersyukur Tuhan masih memberikan kesempatan pada saya untuk mempersiapkan diri hingga saya benar-benar siap untuk dua hal ini. Saya bersyukur Tuhan memberikan saya kesempatan untuk belajar mengasihi, di mana saya belajar untuk mengasihi sesama karena terlebih dahulu saya mengasihi Tuhan. Karena semuanya akan tepat pada waktunya, in His time. Benar-benar tepat pada waktunya. Karena pekerjaan yang Tuhan kerjakan dan akan Tuhan kerjakan jauh melebihi apa yang ada dipikiran saya. Apa yang ada di pikiran Tuhan, jauh lebih tak terduga dan lebih luar biasa dari yang saya pikirkan. Saya bersyukur, Tuhan masih memberikan saya kesempatan untuk mengenalNya terlebih dahulu, walaupun saya masih sangat sulit untuk menjalaninya.


Kata orang usia 20-an adalah jenjang usia di mana manusia mulai dewasa dan banyak menentukan keputusan besar dalam hidup. Dan saya sudah mendekati pertengahan 20-an. Biarlah perjalanan ini Tuhan pimpin. Saya akan sering lari keluar dari jalur, tapi semoga Tuhan tidak pernah bosan menarik kerah baju saya untuk kembali ke jalur yang sesungguhnya. Terima kasih untuk orang-orang yang yang ada di sekeliling saya, dan tidak pernah jemu-jemu berhenti mengasihi saya. Kasih dari kalian tidak akan berhenti di saya saja, tapi akan saya teruskan ke orang lain. Saya bersyukur kepada Allah setiap kali saya mengingat kalian. Enjoy my twenties!
Satu tahun lebih tidak aktif menulis blog! Lagi dan lagi, hahaha, saya justru melanggar peraturan yang sudah saya buat sendiri. Terakhir saya menulis blog Maret 2014, saat saya masih semester 1, dan sekarang sudah Oktober 2015 yang notabene sekarang sudah semester 4. Kalau di postingan blog terakhir saya masih MaBa (Mahasiswa Baru), tapi pada postingan ini saya juga masih MaBa (Mahasiswa Basi) haha.
Awal tahun 2014, saya sudah bertekad untuk menulis blog paling tidak satu bulan sekali, dengan tujuan melatih kemampuan menulis. Hal ini ingin sekali saya lakukan mengingat saya akan berkecimpung dengan dunia yang erat kaitannya dengan tulis menulis. Namun, hahahahaha *(tawa miris)* semua itu hanya rencana hahaha. Hingga pada KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) edisi Bulan Mei, saya berkomitmen di hadapan teman-teman KTB untuk kembali aktif menulis blog sebagai proyek pelatihan diri, daaaan hahaha terealisasi sekarang hahaha.. maafkan saya.

Beberapa tulisan akan diposting dalam selang waktu yang berdekatan, mengingat tulisan dari ide-ide di kepala saya yang sudah menumpuk, dan hanya terhambat di kepala tanpa disalurkan lewat tulisan. Selanjutnya, semoga (janji yang kesekian) saya konsisten dengan menulis. =)

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang ambievert -- Bercita-cita dapat mengunjungi 35 Provinsi di Indonesia --Belajar menjadi environmentalist tapi masih sulit untuk hemat energi (namanya juga tahap belajar) -- Sarjana Ekonomi namun tidak begitu paham khatam ekonomi -- penggila senja dan pengagum langit biru -- sangat menyukai perjalanan darat -- tak pernah berhenti kagum atas karya Pencipta alam yang ada di bumi -- Environmental Science, University of Indonesia 2014 (Master degree) -- Resource and Environmental Economics, Bogor Agricultural University 2009-2013 (Bachelor Degree) -- SMAN 5 Bengkulu -- Christian -- I just wanna be a good Indonesian

Popular Posts