Menulis karena sedang belajar. Karena saya tidak bisa belajar tanpa menulis.

hidup untuk belajar

belajar untuk hidup

maka hiduplah menjadi manusia

Senin, 10 April 2017


Sudah lama sekali blog ini tidak saya perbarui. Ternyata dari sekian lama kevakuman blog ini, tulisan pertama saya adalah untuk salah satu sahabat terbaik saya, Manuel Saragih!

Halo dunia, ingin sekali saya perkenalkan kepada kalian, bahwa saya memiliki sahabat, sepertinya bukan sahabat, tapi kakak! Namanya Manuel Saragih, tapi orang-orang memanggilnya Mbot. Pertama saya bertemu dengannya tahun 2010, sehabis acara retreat Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, dengan first impression saya adalah “saya takut dengan ini orang, tapi kayaknya ini orang asik, ga tau deh kalo ntar kerja bareng nih orang bakaL sepaham atau enggak”. Jadilah, saat itu pertemanan kami dimulai saat beliau meminta saya menjual stiker untuk dana usaha retreat.

Saat sudah di usia sekarang ini, di saat saya sedang mensyukuri untuk orang-orang terdekat saya kepada Tuhan, saya menyadari bahwa pria ini adalah sosok yang unik. Orang yang bisa membuat saya kesal dan senang dalam satu waktu sekaligus! Ide-ide gila selalu keluar dari otaknya. Apapun bisa diuangkan dengannya, sangat kreatif dengan yang namanya bertahan hidup. Tanpa diketahui orang banyak bahwa dia sebenarnya benar-benar sedang bertahan hidup. Seumur hidup, saya baru menemukan satu orang seperti dia, dan dia adalah Manuel Saragih, alias Mbot.

Tampang boleh sangar, tapi pecinta Donald Bebek sejati. Saya sangat ingat dengan motor bebek bersejarah miliknya, yang seolah-olah jadi kepemilikan semua orang. Motor bebek yang dimodif, dicat ulang menjadi warna biru, dicopotnya stiker merk asli motor, kemudian ditempelinya dengan tulisan Donald Bebek kesayangannya. Tidak hanya itu, klakson motornya yang sebenarnya lebih merdu terdengar, malah digantinya dengan klakson dengan bunyi terompet tahun baru, yang jika dibunyikan dapat membuat kaget orang sekitar.

Orangnya sangat loyal, banget malah, kalau ia punya pasti diberikan. Di sisi lain juga apa adanya. Hingga akhirnya ketika semua barangnya jadi seperti milik semua orag, tecetuslah suatu qoute darinya, “Kita keluarga, tapi bukan keluarga kandung.” Boleh pake barang gue, tapi tolong kita bukan keluarga kandung jadi jangan seenaknya banget ya! Hahaha

Kak Mbot orang yang menunjukkan perhatiannya dengan caranya sendiri, tanpa kita sadari bahwa ia adalah orang yang perhatian (Emang iya kak lo perhatian? Gue aja ga nyadar, hahahaha, dasar oportunis!”)

Pernah kala itu, saya sakit diare di kosan, karena habis meminum es kelapa yang dia traktir di kantin. Ketika dia mendengar kabar itu, jam 10 malam dia datang ke kosan saya membawakan P*cari Sweat, coklat S*lver Queen, dan Ch*-cha. Katanya, “ini minuman untuk mengganti cairan dalam tubuh lo yang hilang, in. Terus ini cokelat untuk untuk menambah glukosa dalam tubuh lo biar lo ga lemes,” Di kala orang-orang menjenguk anak kosan datang dengan nasi bungkus atau buah, dia malah membawa cemilan.

Pernah juga malam-malam ia datang membawa pizza karena katanya dia habis dapat rezeki. Yah walaupun yang dia bawa adalah pizza sisa yang tidak habis dia makan dari rumah makan pizza bersama temannya saat itu.

Pernah juga kami berjalan malam dengan menggunakan motor dari Bogor menuju Depok, untuk menemani saya memberikan kejutan ulang tahun untuk kakak saya. Di sepanjang jalan kami mendengarkan lagu dari headset sambil memutar playlist Sheila On 7, menyanyikannya dengan suara yang keras, saat itu yang kita nyanyikan adalah “Terima Kasih Bijaksana.” Hingga keesokan harinya dia menunjukkan playlist lagu handphonenya berisi lagu-lagu Sheila On 7. “Gara-gara lo, gue jadi masukin lagu-lagu SO7 nih di hp gue!”

Kami hampir memiliki hobi yang sama. Kami sama-sama suka warna biru, suka Harry Potter, suka Sheila On 7, suka hal-hal yang berbau digital, suka bikin kesal orang lain, hanya satu mungkin yang berbeda. Dia sangat berbakat dalam hal wirausaha, sedangkan saya tidak ada apa-apanya.

Orang yang dengan ringan tangan membantu saya pindahan dari Asrama TPB IPB saat masuk tahun ke dua, hingga akhirnya kesal dengan saya yang banyak perintah dan banyak mau dan berkata, “emang gue tukang ojek lo?”

Ikut saja dengan ide gila backpacker ke Jogja yang serba mendadak, menjadi satu-satunya lelaki penjaga 5 perempuan rempong, naik kereta ekonomi seharga 35 ribu rupiah dari Jakarta hingga Jogja, dan tidur di antara ayam-ayam. Dia sudah banyak mengorbankan tenaga, harga diri, dan uang, tapi masih saja kami 5 perempuan rempong memanggilanya , “Mbot Kopet!”

Orang yang pertama kalinya mengenalkan kamera DSLR kepada saya. Walaupun kami berdua sama-sama jelata dan belum punya kamera DSLR. Hingga akhirnya saya sangat suka dengan fotografi walaupun masih amatir.

Orang yang pertama kali menyuruh saya mengendarai motor di Bogor. Di kala itu saya belum berani mengendarai motor karena masih di daerah baru. Tapi untuk pertama kalinya saya mengendarai motor dari Dramaga Bogor ke Puncak Bogor dan itu aman-aman saja.

Di kala saya sedang bercerita padanya tapi tiba-tiba hanya jadi setengah cerita, dia pasti langsung menyahut, "lo cerita jangan setengah-setengah ngapa?? Kalo cerita setengah-setengah itu kayak lagi boker tapi ga cebok tau ga!"

Tiap kita mengutip ucapannya yang memang asik untuk dikutip, dia langsung berkata, "itu kata-kata gue! Sini bayar royalti!"

Dia membentuk mental saya yang saat itu adalah juniornya, dengan cara yang sangat saya tidak suka, yaitu menyudutkan saya. Apakah itu memang tekniknya atau memang dia yang mememilki karakter menyebalkan seperti itu (yang saya tahu, saat itu saya sangat benci diperlakukan seperti itu, dan saya kecewa dengan perbuatannya). Hingga akhirnya kami pernah berkelahi hebat dan tidak pernah saling berbicara sampai 2 bulan. Sampai akhirnya terjadi satu insiden yang akhirnya mendamaikan kami. Tapi siapa yang sangka, perlakuannya dan karakternya yang cuek sangat berpengaruh pada karakter saya sekarang. Saya belajar untuk tidak lemah dan cengeng, belajar menikmati apa yang dimiliki sekarang, apa adanya, dan jangan menjadi orang yang terlalu pemikir, “Gak semua permasalahan bisa lo selesaikan sendiri, ngapain mikirin hal-hal yang sebenernya ga penting-penting amat, mikirin tuh hal-hal yang penting aja,”

Hingga kami pernah sama-sama menangis, dengan alasan yang tidak jelas. Pengakuannya, itu tangisan pertama dia setelah sekian lama.

Di kala dia tahu saya sedang stres karena kabanyakan memegang program kerja, dia memberikan saya gantungan kunci bertuliskan, “Life is Fragile, handle with Prayer!” Gantungan itu saya gantungkan di Alkitab saya hingga kini.

Saat saya ulang tahun dia memberikan saya kado, dengan harapan,  “nanti pas gue ulang tahun lo beliin gue kado juga ya, hahahaha, gue investasi!” Jadilah, saat itu, dia salah berinvestasi, dia malah berinvestasi dengan orang yang tidak terlalu hobi memberikan kado, maaf ya kak! Hahaha!

Kami selisih setahun, dia senior saya dari Fakultas Kehutanan, dan saya dari Fakultas Ekonomi. Hobi kami adalah berdebat jurusan mana yang paling nyantai, dan tetap saya yang kalah dalam berdebat. Hingga akhirnya saya berkata, “liat lo ya kak, ntar kita wisudanya barengan!” Jawabnya, “Enak aja lo!” Dan benar lah adanya, saat saya mengirimkan SMS undangan untuk hadir di seminar hasil hasil penelitian skripsi saya, dia membalas dengan kata-kata berikut,
“Apa! Lo seminar duluan! Gue gak terima, gue gak terima!”

Benarlah juga adanya, kami tidak wisuda bersama, tapi justru saya yang wisuda terlebih dahulu dari dia di bulan Januari 2014. Namun, Maret 2014 dia menyusul wisuda dan mendapatkan kado papan bunga besar dari teman-teman seangkatanya karena lulus paling terakhir.

Ketika kami sama-sama lulus kuliah, intensitas komunikasi tidak bejalan dengan lancar. Kami sibuk dengan dunia baru kami masing-masing. Ketika saya whatsapp dia dengan pertanyaan apa kabar, dia malah menjawab, “ga butuh tanya kabar in, yang gue butuhin duit in..” Kak Mbot tetap dengan karakternya yang apa adanya.

Saat saya sedang melanjutkan studi magister, saya menyempatkan diri memberikan informasi pekerjaan dan memotivasinya agar semangat mencari kerja (walaupun saya tahu Kak Mbot tidak semudah itu mendapatkan motivasi hanya lewat kata-kata). Tapi hebatnya, dalam segala keterbatasannya dia tetap bisa bertahan hidup. Apa saja ia jalani untuk menghidupi dirinya sendiri.

Suatu ketika, dia mengikuti tes kerja salah satu perusahaan BUMN di bidang kehutanan. Saya ikut mengantarkannya karena kebetulan lokasi tes ada di kampus saya. Sepulang dia tes kerja, saya meminta bantuannya untuk merekap kurang lebih 150 lembar kuesioner penelitian tesis saya, dengan iming-iming saya traktir dia makan. Seharian itu kami habiskan waktu untuk merekap kuesioner di salah satu rumah makan cepat saji di daerah Salemba Jakarta. 
“Nih penelitian lo apaan sih, in! Gak ada meaningnya banget dah ngitungin barang orang rusak karena banjir!” Sambil membuka lembaran-lembaran kuesioner. “Ini lo yakin wawancara orang nanyain harga barangnya satu-satu! Udahlah!”
Bukan Kak Mbot namanya jika tidak banyak komen. 
Ujar saya sambil memegang kalkulator, “Udah gak usah banyak komen!”

Seharian itu kami habiskan dengan gayanya memamerkan I-Phonenya, dan mengaku tidak bisa memainkan smartphone dengan sistem operasi Android. Saya no comment, karena hampir semua barangnya dia beli dengan hasil jerih payahnya sendiri, tidak seperti saya yang hanya bisa minta dari orang tua. Dia juga banyak menceritakan tentang update kehidupannya saat itu, dan saya juga update kehidupan saya. Saat saya banyak mendengar ceritanya di situ, saya berpikir, “Ya ampun kak, kemana aja sih gue selama ini, kok gue baru nyadar sih gue punya temen sekeren lo.”

Di sisi lain tetap saya berkata, “Ok kak, gue udah kenal kalo lo adalah orang yang pandai mengemas kata-kata dengan cara yang kece, jadi gua ga percaya kata-kata lo sepenuhnya...” diikuti tawa kami berdua.

Pernah beberapa kali, entah itu di motor saat saya sedang di Bogor, atau saat bertemu cengkrama dia menanyakan, “In, kira-kira masa depan lo cerah ga?”
“Apaan sih pertanyaan lo?” Jawab saya.
“Gue serius nih nanya!” Tanyanya.
“Ya mana gue tau lah! Mana ada orang yang ga mau masa depannya cerah!” Jawab saya lagi.
“Yah, kalo lo yakin masa depan lo cerah, gw nikah sama lo aja ntar, gue siap cari sinamotnya!”
“Ogah gw nikah sama lo kak!” Teriak saya.
“Ih, serius gw!” Jawabnya.
“Gue siap, in, kalo gw yang ngurus rumah terus lo yang kerja!”
“Ogah! Berdua aja kerjaan kita berantem mulu dah!”

Ada beberapa kali percakapn itu terjadi, penuh dengan candaan dan selalu ditutup dengan kata-katanya, “Yah, untuk kesekian kalinya gue ditolak!”

Saking putus asa dan khawatirnya mengenai jodoh, lantas dia berkata seperti itu dengan saya! hahaha

Saat saya sudah masuk dunia kerja, dan dia juga sudah mendapatkan pekerjaan cukup lama, kami tetap sama-sama galau dengan pekerjaan yang kami miliki. Hingga akhirnya pertengahan tahun lalu saya jatuh sakit dalam waktu yang cukup lama. Pengakuannya dia sangat ingin menjenguk saya di Tangerang. Tapi tetap, saya adalah orang yang tidak bisa membedakan kapan dia serius dan dia bercanda. Hal itu semua sudah termindset di saya.

Setelah saya sembuh total, kami lalu meet up, setelah sebelumya berdebat lewat whatsapp mengenai lokasi tempat meet up.  Hingga akhirnya dia mengalah dan menjemput saya di kantor, dan akhirnya kami bercengkrama di tempat makan yang tidak jauh dari kantor saya. Kembali dia menceritakan galaunya dia di dunia pekerjaan dan jodoh Sedangkan saya menceritakan mengapa saya sakit dan kondisi kesembuhan saya. Saat itu saya menceritakan tentang pekerjaan impian saya, dan saya memberitahunya bahwa saya lolos Indonesia Mengajar. Saat itu dia diam dan tersenyum kemudian berkata, “Gila, beruntung banget sih lo in, bisa memilih pekerjaan yang sesuai dengan idealisme yang lo miliki!”

Saya terdiam dan mengingat semua ceritanya yang pernah diceritakan kepada saya, tak tahu mau berbicara apa saya hanya bisa menjawab,  “Ntar lo juga akan mendapatkannya kok kak.”
Hingga H-7 sebelum keberangkatan saya ke camp pelatihan Pengajar Muda, dia bersikeras mengajak saya menyempatkan waktu bertemu dengannya. Saat itu saya sudah meluangkan waktu sehabis pulang dari kantor, tapi saya kesal karena dengan seenaknya dia berkata, “Gue masih di rumah in, hahaha ga jadi ya..” Dengan kesalnya saya malas untuk mengatur jadwal lagi untuk meet up  dengan orang ini.

H-3 akhirnya setelah perdebatan dan bujuk rayu, akhirnya kami meet up di Semanggi. Saat itu saya masih berpura-pura kesal dengannya, dan dengan gaya selengeknya dia berjalan ke arah saya seperti tanpa rasa bersalah. (Perhatian, itulah ciri khasnya Kak Mbot!) Anehnya, ketika bertemu langsung dengannya, segala kesal yang sebenarnya ingin kita ungkapkan di depan mukanya meluap sudah dan kita malah bingung ingin marah bagimana. Semua terhapus dengan tawa lepasnya, dan telapak tangannya yang menahan saya untuk tidak memukul punggungnya. Di akhir pertemuan terakhir itu, saya menyalaminya dan berkata ,”sampai ketemu setahun lagi ya... semoga pas gue balik lo udah ada pasangan. Jangan galau-galau mikirin jodoh!”

Namanya masa depan siapa yang tahu dan Tuhan berkehendak lain. Ternyata itu adalah pertemuan terakhir kami. Ketika saya selesai penugasan dan kembali ke Jakarta, saya tidak dapat menemuinya lagi, karena pagi ini tanggal 10 April 2017, saya mendengar kabar bahwa ia sudah dipanggil Bapa di surga karena sakit. Saya tidak tahu kalau dia sakit, dan tiba-tiba mendapatkan kabar seperti ini saat membuka handphone.

Seumur hidup saya mengenalnya, saya tidak pernah melihat dia sakit. Gayanya yang selalu santai dan membuat orang lain berpikir bahwa orang lain tidak perlu khawatir dengan kehidupannya. Terakhir sekitar 2 bulan lalu dia chat saya dan berkata, “bisa kali lo ceritain cerita motivasi lo gitu kek, di sana pasti lo da banyak cerita!”

Pikir saya, apaan sih kak, bukan lo banget dah tiba-tiba minta motivasi. Dengan santai saya membalas, “we have our own story kak, cerita motivasi ga harus dari tempat terpencil.. “
“Ih gw serius, gw minta cerita, masa ga ada gituu..”
“Ya gue kalo ditanya begini bingung ceritanya bagaimana....”

Hingga karena sudah malam, saya teridur meninggalkan chatnya. Hingga saya menunda-nunda untuk menghubunginya lagi, dan kemudian mendapatkan kabar duka ini. Sebelumnya saya belum pernah merasakan kehilangan orang terdekat karena meninggal. Hingga akhirnya saya mendapatkan informasi ini saat saya ada di tempat yang jauh.

Saya tidak mau menghabiskan waktu saya dengan penyesalan karena tidak dapat melihat dia untuk terakhir kali atau karena saya menyesal karena tidak puas dengan pertemuan terakhir kami. Tapi saya ingin mengucapkan syukur kepada Tuhan, karena saya pernah dekat dengan orang luar biasa ini! Sedih pasti! Sedih sekali, tapi saya ingin ceritakan pada dunia, bahwa saat ini yang ada di memori saya adalah semua kenangan yang bahagia tentang dia. Saya bahkan tidak ingat kenangan sedih saat berteman dengannya. Jika dia dulu meminta saya memberikan cerita motivasi, justru kehidupan lo yang udah memotivasi gue Kak! Bagaimana berpikir dari sudut pandang ekstrem, tetap santai dan terlihat bahagia walaupun hidup banyak tekanan, sangat sayang dan peduli dengan keluarga terutama orang tua, bisa hidup MANDIRI! Sumpah, gue banyak banget belajar dari lo!


Selamat tenang di sisi Bapa di Surga, Rest in Peace Kak Mbot. Semua sakitmu sudah diangkat. Saya tandai kau Manuel Saragih, sebagai salah satu orang yang mengubah karakter cengeng saya. Banyak yang sayang denganmu dan banyak yang kehilanganmu pastinya. Saya percaya, Bapa di Surga juga memberikan penghiburan kepada kami. Terima kasih untuk anda pemilik nomor induk mahasiswa E24080043.



Minggu, 13 Desember 2015

Suatu malam, tengah malam, di tengah fokus saya dalam mengerjakan tesis, saya menghentikan pekerjaan saya sejenak karena mendengar lirik lagu yang tiba-tiba mengalun dari speaker. Saya biasanya menyalakan lagu secara random dari youtube untuk menemani ketenangan saya dalam bekerja. Malam itu, saya sengaja memutar playlist lagu natal. Yah, saat itu sudah masuk Bulan Desember dan saya sedang berusaha mencari suasana natal. Bulan yang selama saya hidup, selalu saya nantikan dengan bahagia. Desember yang penuh dengan acara natal, dekorasinya, kumpul kerluarga, ulang tahun Bapa saya, dan lain sebagainya. Namun, tahun ini Desember terasa campur aduk bagi saya, bingung harus bahagia atau panik. Di tengah deadline kelulusan, ketidakpastian waktu, ketidakpastian pertemuan dengan dosen pembimbing, tanggal-tanggal yang harus terpotong karena tanggal merah hingga awal tahun depan, dan lain sebagainya. Hingga akhirnya saya kehilangan suasana natal dari diri saya, saya kehilangan makna natal dari diri saya.

Pikiran saya penuh dengan kekhawatiran, ditambah dengan pikiran-pikiran saya yang terlalu realistis. Hingga saya mulai tersadar pada saat percakapan saya dengan Bapa saya di telpon. Beliau selalu memotivasi saya, mengajak saya untuk terus berdoa, dan berpengharapan pada Tuhan. Namun, saya masih mengelak dan berkata tidak mungkin, itu sulit, ini sulit, semua penuh dengan ketidakpastian. Sampai akhirnya Bapa saya mengucapkan, “Kau jangan seperti orang yang tidak punya iman..ingatlah kau punya Tuhan” Jleb!! Kena deh gw! Benar, kekhawatiran saya menutupi pengharapan saya. Desember yang sudah berjalan hampir setengah Bulan ini saya isi dengan kekhawatiran, ketakutan, dan pikiran akan deadline. Ruang untuk “Dia” yang sebenarnya memberikan pengharapan itu nyaris tidak ada.

Kembali pada lagu yang mengalun di tengah malam. Mungkin pertama kali saya mendengar lagu itu, namun lagu itu benar-benar menjadi refleksi bagi saya. Lagu itu berjudul “Do You Have Room (for The Saviour). Awal lagu ini menceritakan mengenai perjalanan Maria dan Yusuf yang kesulitan mencari ruang untuk penginapan (Yeah, teman-teman pasti mengetahui cerita fakta ini sejak sekolah minggu).

“and she brought forth her firstborn Son, and wrapped Him in Swadding cloths, and laid Him in a manger, because there was not any room for them in the inn” (Luke 2:7 New King James Version).

Tak ada satupun yang menyediakan ruang untuk Dia malam itu. Mungkin ketika kita merenungkan cerita itu, kita berpikir, “kok tega ya orang-orang pada saat itu? Ada yang mau melahirkan, tapi ga disedian ruangan?” Kita mungkin akan berpikir sesubjektif itu. Sangat ironi, Ia datang menyelamatkan umat manusia, namun pada saat malam ia lahir, justru tidak ada ruangan untuknya.


Tapi sadarkah kita (saya), apakah saya sudah menyediakan ruangan khusus untuk Dia di dalam hati saya, terkhusus menjelang natal tahun ini? Dalam kasus saya, “ruangan” saya justru penuh dengan target-target pekerjaan yang ada di depan mata saya, penuh dengan kekhawatiran, dan lupa menyediakan “ruangan” untuk Dia yang sudah menyerahkan hidupnya dan mati karena saya. Terkadang saya bahkan terlalu asik bekerja, hingga tidak sadar waktu sudah pukul 00.00, dan saya belum meluangkan waktu untuk menyapaNya. Saya punya waktu banyak untuk membuka sosmed, tapi saya melupakan untuk menyediakan waktu bersosialisasi dengan Dia. Apakah saya benar-benar sudah mempersiapkan hati saya secara utuh untuk natal tahun ini? Apakah saya sudah mengisi hati saya dengan iman dan pengharapan?

Bagian akhir refrain lagi ini menyebutkan “Would you have come that night? Would you have sought the light? Do you have room?” Apakah saya sesungguhnya sudah mencari Tuhan? Apakah saya sudah mempersiapkan hati saya untuk Tuhan? (Kena lagi deh gw!).

Each of us is an innkeeper who decides if there is room for Jesus (Neal A. Maxwell).
Selamat minggu ketiga advent, mari kita terus persiapkan hati kita, menyambut hari kelahiranNya.

Do you Have Room (For The Savior)

They journeyed far, a weary pair;
They sought for shelter from the cold night air.
Some place where she could lay her head,
Where she could give her Babe a quiet bed.

Was there no room? No corner there?
In all the town a spot someone could spare?
Was there no soul come to their aid?
A stable bare was where the family stayed.

Do you have room for the Savior? And do you seek Him anew?
Have you a place for the One who lived and died for you?
Are you as humble as a shepherd boy, or as wise as men of old?
Would you have come that night? Would you have sought the light?
Do you have room?

A star arose, a wondrous light,
A sign from God  this was the holy night,
And yet so few would go to see
The Babe who came to rescue you and me.

This Child divine is now a King.
The gift of life to all the world He brings,
And all mankind He saves from doom,
But on that night, for Him, there was no room.

Do you have room for the Savior? And do you seek Him anew?
Have you a place for the One who lived and died for you?
Are you as humble as a shepherd boy, or as wise as men of old?
Would you have come that night? Would you have sought the light?
Do you have room?

Will you come tonight? Will you seek the light?

Do you have room?


*foto dokumentasi pribadi, Natal CIVA IPB 2012 (nostalgia pada saat jadi panitia)

Sabtu, 07 November 2015

“Sebuah rangkuman seminar Persekutuan Alumni Kristen Jakarta November 2015”

Seperti temanya, seminar ini membahas habis mengenai hubungan antara atasan dan bawahan, bagaimana kita seharusnya sebagai atasan (oke , untuk manusia seumuran kita mungkin masih jauh dari kata atasan), dan bagaimana kita seharusnya bertindak sebagai bawahan (nah ini mungkin pas) yang sesuai dengan ajaran dari Firman Tuhan. Bagi saya mungkin ini masih suatu teori, karena status saya yang masih murni mahasiswa dan hanya kerja sebatas serabutan hahaha. Seminar ini berlangsung cukup lama hampir 2 jam, dan saya mungkin akan menuliskan hal-hal yang (menurut saya menarik) dan nyantol  banget.

Seminar ini dibawakan oleh tiga pembicara:
  1. Bang Alex Nanlohy, S.Sos, M.A (pasti sudah pada banyak yang kenal), beliau adalah staff Perkantas Jakartaa alumni dari FISIP UI,
  2. Bapak Dr. Jonathan L. Parapak, M. Eng. Sc, beliau adalah salah satu pendiri perkantas (kata sisca), dan sekarang sedang menjabat sebagai rektor Universitas Pelita Harapan. Beliau juga sebelumnya pernah menjabat sebagai Dirut Indosat (yang dulu ikutan Kamp Nasional Mahasiswa 2013 mungkin ingat beliau sempat juga jadi pembicara), alumni University of Tasmania.
  3.  Bang Daniel Ginting, S.H, LL.M, beliau adalah salah satu founder Law Firm di Jakarta (beliau tidak mau sebut merk), dan alumni FH UI.



Materi pertama dibawakan oleh Bang Alex Nanlohy dengan pembawaan santai homoris seperti biasa. Beliau membuka dengan ayat nast pertama dari Markus 10:41-45. Dalam ayat tersebut diceritakan mengenai rasul yang saling berdebat mengenai siapa yang paling utama, dan Yesus menegur mereka dengan mengatakan barang siapa yang ingin menjadi besar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa yang ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaknya ia menjadi hamba untuk semua.

Konsep kempemimpinan pada umumnya identik dengan kekuasaan (power) untuk mempengaruhi orang lain. Banyak yang berpendapat bahwa, orang yang memimpin adalah mereka yang memiliki kuasa. Nah, konsep mengenai kuasa dari Tuhan Yesus berbeda dengan pandangan umum ini. Tuhan Yesus sendiri tidak meniadakan kuasa, Tuhan Yesus sendiri mengatakan dia memiliki kuasa, namun yang dilakukan Yesus adalah membongkar, memperbaiki kuasa dan penerapannya oleh pemimpin. Ajaran Tuhan Yesus tidak berfokus pada KUASA SEORANG PEMIMPIN, namun KERENDAHAN HATI SEORANG PELAYAN (Nanlohy, 2015 disadur dari presentasi seminar).

Ayat ini mungkin sangat bertolak belakang dengan kepemimpinan bertangan besi yang dilakukan di beberapa tempat. Ayat ini mengingatkan kita bahwa kerendah hatian sebagai seorang pelayanlah yang dapat menjadikan seseorang sebagai pemimpin. Hal ini diperkuat dengan perkataan Paulus kepada jemaat di Galatia 5:13 “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.”

Kemudian muncul dua statement yaitu

Pelayan yang memimpin atau pemimpin yang melayani?

Nah, lanjut ke statement berikutnya, manakah yang baik, seseorang yang awalnya sudah menjadi pemimpin kemudian merelakan dirinya untuk melayani orang lain, atau seorang pelayan seorang Hamba Allah yang memiliki kerendahan hati lalu terpanggil untuk memimpin? (Tentunya dalam hal ini Hamba Allah bukan hanya sebatas pendeta atau mereka yang hanya terpanggil di gereja. Kita semua adalah anak-anak Allah yang melayani Tuhan dalam peran kita di kehidupan masing-masing).

Dari dua statement tersebut kita dapat melihat bahwa, hati yang melayani lah yang terlebih dahulu membawa seseorang untuk memimpin. Nah selanjutnya ada kata-kata menarik yang bisa kita catat. Kalau kata bang Alex ini bisa dijadikan lirik lagu kalau ada yang mau bikin (haha):

‘Memimpin adalah melayani, namun melayani belum tentu memimpin
Yang tidak mau melayani, tidak boleh dan tidak berhak memimpin
Pemimpin adalah pelayan, namun pelayan belum  tentu pemimpin,
Yang tidak rela menjadi pelayan, tidak layak menjadi pemimpin’

Setiap orang perlu memiliki hati seorang pelayan, namun tidak semua orang tepanggil untuk memimpin. Pemimpin yang baik memiliki hati seorang pelayan, ia tumbuh karena jiwa pelayan. Nah adakah muncul di pikiran teman-teman contoh-contoh pemimpin yang memiliki hati seperti ini? Ya, pasti teman-teman sudah punya sosok figurnya, entah kah itu atasan teman-teman di perusahaan sekarang, dosen, atau Gubernur di daerah masing-masing.

Satu hal lagi yang ditekankan Bang Alex dan ini menjadi bagian yang berkesan bagi saya. John Stott (mungkin teman-teman pernah membaca buku-bukunya, kalau saya pernah liat doank, kaga pernah baca haha) dalam Medical Christian Fellowship Cape Town tahun 1959 pernah memaparkan mengenai personal relationship yang harus kita jalankan dalam kehidupan bekerja (kalau menurut saya ini tidak hanya dalam kehidupan bekerja, tetapi juga kehidupan sehari-hari).

Dalam Kolose 3, Rasul Paulus memberikan 2 prinsip umum dalam membangun personal relationship.
 
Pertama:
Whatever you do in word or deed, do all in the name of the Lord Jesus.” (Kolose 3:17)

Kedua:
Whatever you do, work at it heartily as to the Lord, and not unto men” (Kolose 3:23)

Apa maksud dari dua prinsip ini?
Pada prinsip pertama: bahwa jika saya seorang Kristen, bagaimana kita belajar memperlakukan orang lain seperti kita dalam posisi If I were Jesus Christ (maksud ini bukan kita menyamakan diri sebagai Tuhan, tapi kita memperlakukan orang lain seperti Tuhan memperlakukan umatnya). Itulah arti dari “in the name of” the Lord Jesus, yang secara tidak langsung mempertegas bahwa kita adalah duta Tuhan di dunia. Sama seperti ketika kita sedang berlomba membawa nama universitas almamater kita di ajang perlombaan, kita berusaha sebaik mungkin karena yang kita bawa adalah nama kampus. Begitu juga kita sebagai Kristen, kita membawa nama Allah, dan perlakukanlah orang lain dari sudut pandang Allah.

Kita harus belajar, jika kita seorang Kristen, bagaimana memperlakukan orang dengan rasa hormat dan pertimbangan (tidak asal bertindak sesuka hati), dengan penuh perhatian dan bijaksana, yang mana hal-hal tersebut yang dilakukan Yesus terhadap orang lain.

Pada prinsip kedua, dari sisi yang berlawanan, bagaimana kita memperlakukan orang lain seperti orang lain itu adalah Tuhan, seperti yang terdapat dalam Kolose 3:23 tersebut (Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia). Perlu diketahui, bahwa ayat ini ada dalam perikop hubungan antara hamba-hamba dan tuan, weeew! Haha.

Sebagai seorang Kristen, kita harus belajar untuk melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, atau kita harus belajar memperlakukan semua orang (mau kepada atasa atau bawahan) dengan bijaksana, rendah hati, penuh pemahaman, dan sopan. Not now that he would give to me, but that I would give to him.

(Bagian ini cukup menohok saya, karena terkadang saya masih secara tidak sadar egois, dan bekerja asal. Terlalu dipengaruhi oleh mood dan berpengaruh pada acara saya memperlakukan orang lain).

Dua prinsip ini yaitu memperlakukan orang lain seperti kita adalah Kristus dan memperlakukan orang lain seperti orang lain adalah Kristus adalah tindakan realistik yang revolusioner serta dapat mengubahkan. This is not idealist rubbish, this is practical advice personal relationship. (Saya benar-benar tertarik dengan statement ini).

Terakhir, dalam slide presentasi Bang Alex menutup dengan kata-kata “Yesus dan Paulus tidak meniadakan  hubungan pimpinan dan bawahan, namun memberikan suatu perspektif relasi yang baru bagi pengikut Kristus.

Nah, materi selanjutnya dibawakan oleh Bapak Parapak, beliau pembawaan serius sekali hahaha. Beliau membawakan materi dari sisi dunia professional seorang pemimpin. Beliau lebih banyak menceritakan pengalamannya dalam memimpin saat ia menjadi Dirut Indosat. Pada saat masa kepemimpinannnya beliau sangat menekankan visi kepada setiap bawahannya. Bahkan pada saat itu Indosat menjadi perusahaan BUMN terbaik.

Sharing awal yang membuat saya berkesan ketika beliau berkata bahwa antara pemimpin dan bawahan sama-sama diciptakan sesuai dengan gambar Allah, dan sama-sama memiliki tugas untuk menjaga setiap ciptaan Tuhan. Nah kata sama-sama di sini memiliki unsur partnership yang tidak bisa dipisahkan. Kata sama-sama tidak mengarah pada siapa yang di atas dan siapa yang di bawah.

Namun sebagai seorang pemimpin diperlukan suatu kualitas agar dapat mengarahkan anggotanya dengan baik dan benar. Pemimpin perlu merumuskan dan menggetarkan anggotanya dengan memiliki kehidupan doa yang baik serta visi yang jelas. Visi yang yang dimaksud juga dalah visi yang berkenan pada Tuhan. Beliau sempat bercerita, pada saat itu perusahaan yang ia pimpin sedang tertimpa masalah dan sedang diadakan rapat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hingga akhirnya beliau sebagai pimpinan berpikir bagaimana menyelesaikan masalah dengan mengandaikan jika Roh Kudus ada di ruang rapat ini, keputusan apa yang akan diambil oleh Roh Kudus dan sesuai dengan Firman Allah (yang ini berat broo.. beraattt hahhaa).

Beliau juga berpendapat bahwa sebagai seorang pimpinan, baiknya memberdayakan bawahan dengan motivasi dan nasehat, menggalang kesatuan dan kerja sama, serta menggagas pembaruan di bawah tuntunan Tuhan. Beliau menekankan tokoh Nehemia dalam soal kepemimpinan.  Walaupun banyak yang berusaha menjatuhkannya, tapi Nehemia tetap maju untuk membangun kembali kehidupan bangsa Israel (mungkin teman-teman bisa baca kitab Nehemia).

Materi selanjutnya dibawakan oleh Bang  Daniel Ginting, dengan sangat santai dan memancing banyak tawa tiap peserta seminar. Bang Daniel membawakan materi dari sosok jika saya seorang karyawan. Awalnya beliau mengucapkan bahwa, “saya juga bingung mau bercerita dari sisi karyawan, saya terakhir menjadi karyawan 13 tahun yang lalu, apa pengurus tidak salah milih?” Ujarnya sambil bercanda diikuti tawa peserta seminar.

Beliau mulai menceritakan pengalamannya pada saat dia menjadi karyawan (hingga ia bisa mendirikan Law Firm sendiri adalah proses yang sangat panjang). Beliau menyatakan bahwa bekerja adalah berkarya, bekerja adalah pelayanan.  “Jadi saya pernah berbicara dengan beberapa orang, saya bertanya, ‘kenapa kamu bekerja di sana?’ lalu di jawab ‘wah ga tau juga bang, orang-orang pada daftar di sana semua bang, yah saya juga ikut bang,’ atau dijawab ‘biar dapat uang bang, malu kalo ga kerja bang’” Hal-hal bekerja adalah suatu tindakan berkarya lah yang kurang banyak ditekankan dalam kehidupan para pencari kerja.

Setelah itu beliau menekankan bahwa kerjakanlah segala sesuatu dengan sungguh-sungguh. Apapun itu sekecil apapun itu kerjakan dengan hati yang senang. “Mungkin awal-awal kalian berpikir, apalah kerjaan aku ini, Cuma straples-straples, ngurus angka-angka, foto copy-foto copy,” ujarnya dan diikuti tawa dari peserta seminar (hahha sepertinya sebagian peserta seminar sempat mengalami hal tersebut). Pekerjaan kecil jika dikerjakan dengan tanggung jawab akan menambah kepercayaan kepada kita untuk tanggung jawab yang lebih besar, tiap peningkatan tanggung jawab yang diberikan adalah sesuatu yang sangat Indah.

Sama seperti yang sudah disampaikan dengan Bang  Alex, kerjakan segala sesuatu dengan sepenuh hati, seperti bekerja untuk Tuhan. Tidak ada pekerjaan baik yang tidak dilihat oleh orang, percayalah! Kita juga perlu percaya diri, tidak perlu membandingkan diri kita dengan orang lain, tapi tetaplah menjadi diri kita yang apa adanya. Jangan terlalu cepat puas diri sehingga kita terlalu show off dengan kemampuan yang kita miliki. Kita juga perlu untuk mengembangkan kemampuan yang kita miliki, seperti sekolah lagi.

Hal terakhir yang disampaikan oleh Bang Daniel adalah jangan lupa tetap menjalin komunikasi, jangan takut berendapat, dan sampaikan pendapat dengan bijaksana.



Masuk dalam sesi tanya jawab, pada putaran pertama diberikan kesempatan untuk tiga penanya.

Pertanyaan pertama dari abang-abang (saya lupa namanya siapa) alumni FT UKI tahun 2005 (kalo ga salah). Beliau bertanya: banyak kebijakan perusahaan sekarang yang bersifat profitable dan cenderung merugikan banyak pihak di dalam perusahaan (umumnya karyawan yang kena), kebijakan ini menjadi suatu sistem peraturan yang terus menerus berulang terjadi (loop hole rule). Apa yang harus kita lakukan bila ada di kondisi seperti ini? (cerita seperti ini sering saya dapatkan dari banyak teman yang sudah bekerja).

Pertanyaan ini dijawab oleh Pak Parapak, hal seperti ini memang sering terjadi dan sangat sulit dihilangkan terkadang dari bawahan tidak dapat berbuat apa-apa. Tapi langkah kecil yang bisa kita lakukan adalah mempelajari latar belakang atasan, karakter, dan ideologi seperti apa yang ia jalani, mungkin kita bisa menulis tiap masukan kita dalam secarik kertas dengan penyampaian yang tepat setelah kita mempelajari latar belakang atasan kita.

Jawaban dari Bang Daniel Ginting, terkadang peraturan memang sudak saklak, mau-tidak mau adalah peraturan yang dibuat oleh perusahaan yang harus diganti.

Pertanyaan kedua dari abang-abang katanya dia sedang S2 di UI. Tapi di sini saya agak lost dengan pertanyaan dan jawabannya, jadi mohon maaf hehe.

Pertanyaan ketiga dari kakak-kakak alumni UI, tapi lupa fakultas apa dan angkatan berapa. Dia menanyakan: bagaimana pendapat anda dengan statement “Bos is always right?

Pertanyaan ini djawab oleh Pak Parapak, tidak semua atasan selalu benar, atasan yang baik adalah atasan yang selalu terbuka dan bersedia menerima kritik dan saran dari bawahannya, mau dikoreksi jika mengalami kekeliruan dan kesalahan. Tidak ada Bos yang sempurna.

Sesi pertanyaan kedua untuk tiga orang penanya juga.

Pertanyaan keempat dari Josua, alumni UNPAD 2008. Dia menanyakan: Bagaimana jika pekerja tidak mencintai pekerjaanya? Apakah berkerja harus sesuai dengan passion?

Jawaban dari Bang Daniel: sayang jika pekerja bekerja tanpa mencintai pekerjaannya. Itu hanya buang-buang waktu. Kita juga harus peka terhadap passion kita. Jangan sampai kita terjebak dengan passion sesaat. Tiba-tiba kita bilang “passion saya bukan di kantor bang, saya di lapangan, saya suka mengajar, saya suka anak-anak kecil..” nah kita harus mengenal diri kita lebih dala. Cari tahu dan minta tuntunan Tuhan

Jawaban dari Bang Alex: kembali kita harus mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh termasuk dalam menentukan keputusan, terkadang ada orang yang dianugerahkan banyak passion oleh Tuhan, namun tidak ada pekerjaan yang dapat menampung passionnya. Pekerjaan belum tentu sama dengan passion, ini adalah pola pikir yang salah selama ini. Ada seorang siswa binaan saya, dia disuruh orang tuanya untuk masuk kedokteran, sedangkan dia suka bermain musik. Pada akhirnya dia masuk kedokteran, dan kesukaannya dalam bermain musik menjadi pekerjaan sampingannya. Ia bekerja tapi passionnya tetap dijalankan. Ada juga seorang alumni yang bekerja di kantoran tapi ia menyalurkan passionnya sebagai sukarelawan dengan mengajar anak-anak jalanan pada saat weekend. Yang penting adalah kita harus mencintai pekerjaan kita. Orang yang ingin menjadi missionaris ke luar negeri pun harus punya skill professional agar bisa diterima kalangan di sana. Mereka yang ingin menjadi missionaris pun mengambil keahlian sebagai pengajar, di mana pada saat ia mengajar ia bisa sambil menyampaikan Firman.
Pekerjaan yg kita kerjakan juga bisa jadi menjadi bekal untuk apa yang akan kita hadapi di tantangan kehidupan selanjutnya, jadi kerjakan segala sesuatu dgn sungguh-sungguh.

Pertanyaan kelima dari abang-abang saya lupa namanya dan lupa alumni dari mana. Ia menanyakan bagaimana jika dalam tim kerja kita terdapat salah satu anggota yang tidak provement dengan anggota tim yang lain?

Jawaban dari Pak Parapak, kita bisa belajar untuk ikut membina dan memberitahu anggota tersebut.. jika memang masih sulit kita bisa melakukan tindakan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya sehingga jika terjadi konflik biarkan manajeman perusahan yang mengatur sesuai dengan data-data bukti yang kita miliki.

Pertanyaan keenam dari kakak-kakak saya lupa namnya, dari alumni UI. Ia menanyakan bagaimana bawahan dan atasan bisa menjadi partner dengan gaya komunikasi yang menyentuh hati ?

Jawaban dari Pak Parapak: kita harus bisa menempatkan diri pada posisi yag sebenarnya, lakukan yang terbaik dalam komunikasi, sebagai atasan perlu untuk melihat prestasi, dan atasan jangan angkuh untuk menjalin komunikasi. Sebagai bawahan, jangan pula mempersulit atasan dan menjelek-jelekkan atasan. Atasan dan bawahan harus sama-sama belajar memahami karakter. Dan penting untuk menjaga silaturahmi.

Tambahan dari Bang Alex: dalam hal menegur jangan pernah merasa lebih tinggi, kita dapat menyampaikan apa yang ingin kita sampaikan dengan mengucapkan “apa yang harus saya bantu agar kamu tidak terlambat lagi? Apa yang harus saya bantu agar kamu tidak telat mengerjakan laporan lagi?” mungkin juga bisa disertai dengan doa bersama, dan belajar Firman bersama.

Pekerjaan adalah pelayanan, jadi kerjakan semua dengan hati yang suka cita.
Sekian sharing dari hasil seminar PAKJ November 2015. Itu semua hasil dari rekaman catatan, yang ada di otak memori serta pikiran saya. Keburu lupa saya tulis saja semua. Semoga bermanfaat.

(beberapa foto saya ambil dari official account facebook Pak Jakarta, gak sempat bikin dokumentasi sendiri).





Sabtu, 24 Oktober 2015

Beberapa minggu ini saya banyak sekali bertemu orang, dari berbagai macam latar belakang, dan membawa pemikirannnya masing-masing. Tiap pembicaraan yang kami lakukan (antara saya dan orang-orang yang saya temui), saya selalu berusaha menganalisis jalan pikirannya (walaupun terkadang melenceng). Tiap cerita yang saya dengarkan dari beberapa orang belakangan ini menyentuh hati saya, dan membuat timbul perasaan ingin terlibat membantu walaupun sedikit. Ada juga rasa untuk berusaha menolong untuk mengubahkan hal-hal yang saya rasa salah, tapi terkadang muncul pula rasa ragu. Bahkan ada pilihan-pilihan keputusan dari orang-orang yang saya kasihi yang justru malah menjerumuskannya pada suatu kepuasan sementara, dan itu membuat saya sangat sedih.
Hingga suatu malam, ketika saya bertemu dengan salah satu teman terbaik semasa kuliah S1. Saat itu kami sedang saling sharing mengenai topik yang agak "berat" yaitu integritas haha (saya sendiri pun seperti masih sulit menerima dan menjalaninya). Pembicaraan kami sampai pada cerita saya yang dalam tahap ragu untuk mengungkapkan sesuatu yang saya anggap salah kepada orang yang saya temui, termasuk atasan saya. Lalu teman saya ini memberikan suatu analogi yang menurut saya cukup menarik. Teori Bakpao.

Pernah makan bakpao? Nah, andaikan anda dalam keadaan lapar, lalu saya memberikan bakpao kepada anda. Entah dengan senang hati ataupun tidak anda memakan bakpao yang saya berikan. Saat itu, apakah anda kenyang? Jawabannya belum tentu. Jika ada masih lapar, maka saya akan memberikan bakpao lagi kepada anda. Setelah anda memakannya, apakah anda langsung kenyang? Jawabannya masih belum tentu. Begitulah terus terjadi hingga anda memakan bakpao terakhir yang membuat anda merasa kenyang.

Sekarang pertanyaannya adalah, bakpao manakah yang sudah membuat anda kenyang? Bakpao pertama, kedua, atau yang terakhir? Jawabannya adalah pasti semua bakpao-bakpao yang sudah dimakan. Bukan bakpao pertama saja, kedua saja, atau ketiga saja.

Hal yang sama juga terjadi pada teguran-teguran, atau ajakan-ajakan untuk mengubahkan hidup orang yang kita kasihi atau kita terbeban untuk merangkulnya. Ketika kita menegur, menghimbau, atau mengajak sesorang yang kita kasihi untuk berbuat sesuatu yang lebih baik atau benar, mungkin tidak cukup sekali. Kita mungkin bisa menjadi bakpao yang pertama, bisa menjadi bakpao yang kedua, atau yang terakhir. Atau bisa jadi juga orang lain sebelum kita sudah menjadi bakpao pertama, kita bakpao kedua, atau ada orang lain lagi yang nanti akan menjadi bakpao ketiga. Kita tidak bisa secara langsung dapat mengubah seseorang. Setidaknya, kita sudah berkontribusi untuk berusaha "mengenyangkan" orang yang kita kasihi seperti kontribusi dari tiap bakpao tadi.

Tiap orang juga mempunyai kadar yang berbeda. Ada yang cukup dengan satu bakpao, ada juga yang haru lebih dari tiga bakpao. Intinya adalah, jangan segan untuk menyatakan teguran karena kasih kepada orang-orang yang kita kasihi, dan jangan ketinggalan untuk mendoakan mereka yang kita kasihi.

Teman saya mengakhiri sharing teori bakapo itu dengan senyuman. Jadi, mau menjadi bakpao? Haha. Saya pun juga masih memerlukan para agen-agen  bakpao untuk mengubahkan hidup saya,yang mungkin tidak saya sadari karena saya keluar dari jalur yang benar. Namun tidak menutup kemungkinan saya juga harus berusaha menjadi salah satu agen bakpao. Hahaha.

Jumat, 16 Oktober 2015

Beberapa hari sebelum tanggal 16 Oktober 2014.

“Dek, malam ini bisa nginep di rumah kakak?” Whatsapp dari Kak Esya

“Yah kak, kayaknya ga bisa, iin pulang malam terus banyak tugas, besok pagi harus ke kampus lagi,” balas saya, “ada apa kak? Bang Juned masuk malam?”

“Iya, Bang Juned masuk malam, perut kakak mules-mules, tapi sekarang mendingan, takut mules-mules lagi tengah malam,” Bang Juned adalah suami Kak Esya, beliau bekerja di Bandara Soekarno Hatta, sistem kerjanya shift pagi shift malam.

“Yaudah kakak nginep di perum aja..” perum nama wilayah di Tangerang, tempat tinggal mertuanya.

“Yaudah gak apa-apa, mungkin kakak nginap di perum..”

Pada saat itu, kakak saya diprediksi dokter akan melahirkan di awal November 2014, dan keluarga sebisa mungkin menjaganya agar tidak sendirian.

Sore 15 Oktober 2014

Saya mendapatkan kabar, entah saya lupa, apakah karena saya whatsappan dengan kakak saya atau mama saya yang memberi tahu, kakak saya beserta keluarga suaminya keliling-keliling Tangerang Serpong dan sekitarnya untuk membeli lemari baju calon bayi mereka.

Pagi hari 16 Oktober 2014

*dering handphone membangunkan saya*

“Halo ma,” sapa saya dengan suara serak, mama saya menelpon.

“Halo nak, udah bangun? Hari ini kuliah?” Tanya mama.

“Iya ma, jam 9, ini mau siap-siap..” jawab saya tapi masih tidur di tempat tidur dengan mata masih terbuka seperempat.

“Ooo.. udah tahu kakakmu sudah melahirkan?” Tanya mama santai.

“HAH APA? KAPAN MA? ITU BENERAN!!?” Mata saya akhirnya terbuka 100%.

“Iya tadi subuh jam 2.. di rumah sakit di BSD.” Jawab mama. Saya suda membayangkan wajah mama sangat bahagia, sudah jadi opung (nenek). Cucu pertama yang sudah dinanti-nanti.

“Ah.. kecepetan 2 minggu donk ma? Sekarang kakak gimana ma?” Saya bingung antara senang atau panik, saya jadi tante hahaha.

“Iya, beratnya Cuma 2,47 kg, kecil banget, hitungannya masih prematur, kakak masih di ruang operasi, masih ada tindakan, agak pendarahan habis melahirkan normal, nanti pulang kuliah kau ke sana ya..” ujar mama.

“Iya ma..” Saya saat itu tidak mengerti berapa berat badan normal untuk bayi yang baru lahir, tapi kata mama itu ukuran yang tidak normal.

“Kalau sempat, nanti kamu ke Tanah Abang mau nak? Sepertinya baju yang kita beli kemaren kegedean, beli yang ukuran kecil untuk anak kakakmu ya.. bajunya masih kurang kayaknya…” sebelumnya kami memang sudah membeli perlengkapan untuk si calon bayi, tapi kami tidak menyangka bayi ini lahir lebih cepat, mungkin sudah tidak sabar bertemu mamanya papanya, opung-opungnya, tulangnya, mama tuanya, tantenya, bapa tuanya, bapa udanya hahahaa.

“Oh gitu, oke maa..” saya lalu menyusun rencana untuk ke Tanah Abang, membeli beberapa baju bayi yang baru lahir.

Pembicaraan kami selesai dan teriakan saya tadi ternyata membangunkan abang saya dan istrinya. Mereka berdua langsung datang ke kamar saya dan saya menceritakan bahwa Kak Esya sudah melahirkan. Seketika rumah langsung heboh, dengan rasa syukur. Kalau saya? Haha masih tidak menyangka, kakak saya, teman main saya dari kecil, teman berantem, teman ceng-cengan, teman seperantauan, sekarang sudah punya anak. Dan saya? Haha sudah waktunya saya jadi tante-tante ahaha.

Saya ingin whatsapp kak esya, tapi saya sadar, ia pasti masih dalam keadaan tidak sadar. Sebelumnya saya belum pernah melihat orang melahirkan, atau melihat langsung orang pasca melahirkan. Saya bertanya-tanya, bagaimana kabar Kak Esya? Sakitkah dia saat melahirkan?

Saya lalu bbm Bang Juned, menanyakan kabar Kak Esya dan bayi. Bang Juned menjawab bayinya sehat, hanya Kak Esya masih tindakan pasca melahirkan, ada kendala sedikit katanya, dan perlu transfusi darah. Bang Juned lalu mengirimkan foto bayi dan menyebutkan namanya, “Aubrielle Faithy Nasya Maha”.

Di kampus, saya sudah tidak konsentrasi kuliah. Pikiran saya melayang ke Kak Esya dan Aubrielle. Jelang kuliah selesai, saya pamit dengan teman-teman saya dan menelpon mama menanyakan pakaian apa saja yang harus saya beli. Dari kampus saya langsung menuju Tanah Abang untuk membeli beberapa lusin pakaian untuk bayi yang baru lahir. Lanjut, saya langsung naik kereta menuju Serpong. Setalah janjian dengan Bang Juned untuk dijemput, saya sampai di Rumah Sakit bersalin tempat kakak saya di melahirkan.

Saya melihat raut muka Bang Juned, terlihat sangat bahagia, sekarang abang ipar saya itu sudah jadi ayah. Saya langsung masuk ke Rumah Sakit, kemudian Bang Juned mengajak saya ke ruang bayi. Terdapat kaca besar tembus pandang dibaliknya terlihat ruangan berisi tempat tidur bayi. Saya melihat ada beberapa bayi di dalamnya.

“Itu dia si Aubrielle,” tunjuk Bang Juned ke salah satu bayi yang ditidurkan di tempat tidur khusus. Tempat tidur itu memiliki lampu yang disinarkan ke bayi. Ada dua bayi di situ, yang satu badannya kecil, dan yang satunya badannya tidak terlalu kecil. Saya sudah bisa menebak yang mana Aubrielle.
Badannya sangat mungil, kulitnya masih merah, matanya terbuka memandang kosong ke arah langit-langit, mulutnya mengatup-ngatup, anteeeng! Badannya dibungkus kain bedong. Sekali-kali ia berusaha menggerakkan kakinya ke atas, meliukkan tubuhnya sedikit. Rambutnya masih tipis, tumbuh di kepalanya yang masih sebesar kepalan tangan saya. Saya tersenyum melihatnya dari balik kaca. Halo, keponakan? Siap bermain dengan aunty?

“Dia anteng banget, tuh. Lihat in, mukanya kayak lagi orang mikir, mikirin bokap nyokap gue tagihan rumah sakitnya berapa ya??” Ujar Bang Juned.

“hahahhahaa,” kami tertawa. Saya kembali melihat ke arah Aubrielle. Sebelumnya saya sering mendengar kata orang-orang bahwa anak baru lahir itu seperti malaikat. Tapi perkataan itu seperti lalu saja dipikiran saya. Namun, sekarang saya benar-benar percaya, bahwa bayi baru lahir itu benar-benar seperti malaikat, walaupun saya belum pernah melihat malaikat itu seperti apa. Mata saya tidak lepas memandang Aubrielle.

“Yaudah, yok lihat Kak Esya..” ajak Bang Juned.

Saya sampai lupa dengan Kak Esya hahaha, saya lalu berjalan mengikuti Bang Juned menuju kamar perawatan Kak Esya, kata Bang Juned, Kak Esya habis tindakan di ruang operasi, masih dibawah pengaruh obat bius. Saya bisa membayangkannya, cerita dari Bang Juned (kalau saya tidak salah ingat), Kak Esya sudah berjam-jam di ruang operasi pasca melahirkan, karena ada sedikit masalah, ia juga mengalami pendarahan. Mungkin ada dari jam 4 subuh sampi jam 9 pagi, saya tidak begitu ingat, yang pasti sangat lama. Saya membayangkan perjuangan kakak saya setelah melahirkan Aubrielle.

Saya masuk ke ruangan tempat Kak Esya, dan saya melihat Kak Esya terbaring lemas di atas tempat tidur. Wajahnya sangat pucat, matanya sayu terbuka sedikit. Saya tahu dia melihat saya, tapi saya juga tahu dia masih belum punya kekuatan penuh untuk membuka mata sepenuhnya dan menggerakkan bibirnya. Saya lalu meletakkan buah-buahan yang sempat saya beli sebelumnya dan berjalan ke  arah Kak Esya. Saya langsung mencium keningnya dan pipinya. Bersyukur kakak saya sehat walaupun masih lemas. Saya tidak tahu secara langsung bagaimana perjuangannya semalaman. Tapi saya bisa membayangkannya dengan melihat keadaannya saat itu.  “Halo kakak sayang…” ucap saya.

Sebelumnya memang saya sempat saling telponan lagi dengan mama. Mama sangat khawatir dengan keadaan Kak Esya, walau bagiamanapun tetap mama yang paling mengerti Kak Esya, karena mama lah yang pernah melahirkan. Mama juga tahu bagaimana sakitnya dan sulitnya melahirkan dan pasca melahirkan. Mama berpesan agar saya menjaga Kak Esya. Mama sangat ingin datang dari Bengkulu ke sana. Tapi berkat hari ini benar-benar di luar prediksi, mama belum mengurus izin dari pekerjaanya begitu juga dengan Bapa tidak bisa mendadak berangkat.

Saya melihat Kak Esya ingin sekali berbicara, namun tidak ada kekuatan. Jika saya ingat hari itu saya sangat bersyukur atas kelahiran Aubrielle, tapi di sisi lain saya tidak tega melihat keadaan kakak saya. Membayangkan dia berjuang selama beberapa jam di ruang operasi, mengalami pendarahan, sampai melibatkan banyak dokter untuk mengambil tindakan. Seketika saya membayangkan bagaimana perjuangan mama saya dalam melahirkan empat orang anak. Sungguh, membuat diri sendiri ngilu setelah saya melihat keadaan kakak saya. Betapa besarnya perjuangan seorang ibu.

Saya tidak menyangka Kak Esya sungguh wanita yang sangat kuat. Saya tahu, anak perempuan pasti sangat menginginkan kehadiran ibunya dalam keadaan seperti ini, walaupun ada ibu mertuanya, tetap saja ia pasti sangat membutuhkan kehadiran mama. Tapi apa daya, mama tidak bisa datang pada hari itu juga.

Di sana ada ibu mertua Kak Esya, yang sudah menemaninya dari tadi malam. Di dalam kamar ada saya, Kak Esya, Bang Juned, dan Ibu mertua Kak Esya. Beberapa jam kemudian, tenaga Kak Esya berangsur pulih, ia sudah bisa duduk dan berbicara walaupun pelan. Saya sangat bahagia. Kak Esya masih belum sempat menggendong bayinya karena keadaanya yang masih lemas. Sore harinya, ketika ia sudah tidak lemas, suster membawa Aubrielle dari ruang bayi ke kamar kami. Aubrielle lalu diberikan ke pelukan Kak Esya, dan entah mangapa saya sangat terharu melihatnya.


Hingga malam hari, abang saya dan istrinya datang mengunjungi sepulang dari kantor. Kami berkumpul bersama dan berdoa bersama. Selama beberapa hari Kak Esya masih harus dirawat menunggu proses pemulihan. Sempat  saya yang bagian menjaga Kak Esya di rumah sakit karena Bang Juned saat itu shift malam dan mertua Kak Esya sedang mengurus persiapan pernikahan anaknya yang pertama.

Saat itu Kak Esya berkata, “gak nyangka ya dek, kakak udah punya anak aja..”

Saya tersenyum, semuanya tidak terasa, kami benar-benar di usia yang sudah dewasa. Perasaan baru kemarin kami bertengkar hanya karena berebut barang, baru kemarin kami  tertawa ala ABG karena hal-hal yang kami anggap lucu, baru kemaren kami masih sama-sama berangkat menuju sekolah, semua terasa baru kemarin. Sekarang, dia sudah menjadi ibu, dan saya menjadi tante. (Tante? Oh, saya benar-benar sudah tua haha).

Beberapa hari kemudian, kami mendapat berita kalo badan Aubrielle harus di sinar lagi karena kuning. Mungkin karena ia prematur kah? Kak Esya sangat panik, dan kami hanya bisa berdoa. Seiring berjalannya waktu, Aubrielle tumbuh semakin besar dan tidak terlihat seperti ia lahir dari berat badan 2,47 kg. ia tumbuh sangat sehat layaknya bayi normal biasa.


Jumat, 16 Oktober 2015

Pagi hari saya bangun, dalam keadaan kaki yang masih nyeri akibat keseleo kemarin. Saya mencoba mengingat-ingat ini hari apa. Iseng saya melihat notifikasi dari handphone saya. Kak Esya memposting sesuatu. Saya lalu buka, ternyata sebuah foto perayaan kecil-kecilan ulang tahun Aubrielle. Haha yah, hari ini ulang tahun Auby (panggilan untuk Aubrielle). Saya sudah ingat kemarin, bahkan saya sudah membeli kado titipan dari Kak Lidya untuknya. Tapi pagi hari memang tahap untuk pemulihan memori haha.

Hari ini tepat satu tahun Aubrielle. Dulu saat lahir badannya boleh kecil, tapi siapa yang menyangka kalau sekarang dia sangat jago memanjat, cepat sekali merangkak, sudah bisa berdiri, dan hobi menarik-narik kaca mata saya haha. Dia suka memegang apapun. Semangatnya untuk mencapai apapun yang diinginkannya patut dicontoh haha. Merangkak ke manapun, walaupun sampai kepalanya terbentur di mana-mana karena respon kehati-hatian dari bayi memang belum berkembang, tapi ia tidak menangis! Ia berdiri lalu terjatuh, lalu berdiri lalu terjatuh lagi, tapi ia tidak pantang menyerah. Semua perkembangannya sangat luar biasa. Sangat aktif.

Benar kata dosen saya, orang dewasa harus belajar dari bayi. Walaupun bayi sering jatuh saat belajar berjalan, kepalanya bahkan terantuk, tapi bayi tidak berhenti menyerah, terus berusaha.  Terima kasih Aubrielle sudah hadir di keluarga kami. Bayi kecil yang langsung memberikan sukacita untuk enam keluarga sekaligus. (Keluarga Kak Esya dan Bang Juned, Keluarga Bapa dan Mama saya, Keluarga dari mertua Kak Esya, Keluarga Abang saya dan istrinya, Keluarga Kak Lidya dan suaminya, serta keluarga Bang Alex (Abangnya Bang Juned) beserta istrinya). Kehadirannya memberikan tawa tiap kami berkumpul. Ketidakhadirannya memberikan kami rindu untuk menemukannya.



Tetap bertumbuh Aubrielle cantik, jadi anak yang takut akan Tuhan, sehat, cerdas, dan patuh pada orang tua. Seperti namamu, Aubrielle Faithy Nasya Maha, tetaplah tumbuh besar dalam iman, dan bersinarlah seperti malaikat.
Siang hari, kaki kiri selonjoran, leyeh-leyeh di kursi depan televisi.

Semester 4 adalah semester yang katanya paling tertekan, tapi dibalik ketertekanan (pengejaran deadline tesis atau harus bayar uang kuliah lagi) tersimpan hikmahnya, yaitu waktu yang sangat fleksibel hahaha. Waktu sangat fleksibel kerena sudah tidak ada jadwal kuliah, dan ini kesempatan kami (para mahasiswa tingkat akhir) untuk menyelesaikan penelitina tesisi. Kami mengagendakan sendiri jadwal kami, serta membuat target sendiri.

Tepat tanggal 12 Oktober lalu saya sudah selesai melakukan pengambilan data untuk penelitian tesis saya. Selanjutnya saya lebih memilih melakukan olah data dan menulis tesis ke kampus, perpustakaan atau tempat lain yang jauh dari rumah. Mengapa? Yah, karena magnet tempat tidur itu sangat luar biasa, ibarat tubuh saya adalah medan magnet positif, tempat tidur adalah medan magnet negatif. Ketika kami bersatu akan sulit dipisah haha.

Kemarin, di waktu yang sangat fleksibel, saya memutuskan untuk melanjutkan clearing kusioner (merapikan data dan perhitungan yang ada di kusioner hasil wawancara dengan responden) di kampus setelah sebelumnya mendapat bantuan dari teman hampir setengahnya. Karena panjangnya intro sebelum melakukan aktivitas (leyeh-leyeh di tempat tidur, buka-buka sosmed, sarapan, beli token listrik, dll), saya terpaksa berangkat ke kampus sekitar pukul 10.30 setelah sebelumnya mengatakan pada teman akan ke kampus pukul 09.30 hehehe.

Hari itu saya membawa motor ke stasiun, dan memarkirnya di tempat penitipan motor. Saya berjalan menuju gate, sebelumnya harus melewati tangga yag letaknya ada dibagian belakang peron stasiun. Entah apa yang saya pikirkan, mungkin saat itu saya sedang melamun (memikirkan hal yang memang beberapa hari ini muncul dipikiran), saat kaki saya melangkahi anak tangga, ternyata kaki saya kurang terangkat tinggi. Alhasil saya langsung tersandung, jatuh, dan kaki saya keseleo. Sepatu sneakers saya langsung lepas, dan celana jeans saya berlumuran pasir (haha ini bukan pertama kalinya saya jatuh seperti ini, tapi yang kesekian kalinya). Seketika kaki saya langsung terasa sakit, kemudian saya duduk sebentar di tangga. Saya mengambil sepatu saya dan memasangnya lagi.

Dari atas peron ada seorang ibu-ibu dengan dua orang anaknya, yang satu mungkin masih berusian satu tahun (digendong), dan yang satunya sekitar 3 tahun. Anak yang berusia 3 tahun mendekati teralis yang membatasi peron dan tangga tempat saya duduk. Anak itu memegang teralis dan melihat saya, dengan tampang polosnya ia berkata, “tidak apa-apa?”

Saya tersenyum melihat ke arahnya, wajah anak itu sangat datar. Inilah yang saya suka dari anak kecil, polos dan benar-benar bertanya tanpa ada maksud apa-apa. “Iya… tidak apa-apa..” jawab saya. Lalu anak itu berjalan sambil lalu. Untungnya lokasi itu sepi hahhaa jadi saya tidak perlu menanggung malu.

Kemudian saya berjalan menuju gate dengan menahan rasa sakit di pergelangan kaki kiri, agak terpincang. Untung masih bisa jalan, ujar saya dalam hati. Kemudian saya berjalan ke peron untuk menunggu kereta, berpikir apakah saya akan mendapat tempat duduk? Apakah kereta ramai? Sepertinya saya butuh tempat duduk kali ini. Tak lama kereta datang, dan untungnya saya mendapatkan tempat duduk, kereta tidak terlalu ramai. Sampai di Stasiun Duri, saya harus  transit, dan berpikir apakah saya akan mendapatkan tempat duduk lagi, dan tepat pas kereta transit datang, saya mendapatkan tempat duduk. Untung saya masih mendapat tepat duduk.

Pada akhirnya saya sampai di kampus dan menuju perpustakaan dengan jalan yang masih sedikit pincang. Saya bertemu kedua orang teman saya yang juga sedang mengerjakan progres tesisnya. Kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Saat jalan ke kantin saya mulai merasa kaki terasa makin nyeri hahaha. Puncaknya pas kembali lagi ke perpustakaan, saya membuka sepatu saya dan melihat ukuran kaki kanan dan kiri sudah berbeda. Untung saya tidak sendirian saat itu, saya bersama dua orang teman saya. Mereka lalu menawarkan diri untuk membelikan cream pereda nyeri, setelah sebelumnya saya menempel koyo cabe di pergelangan kaki (yang dibeli di koperasi dekat kantin saat makan siang) dan saya tidak merasakan panas apa-apa.

Selagi menunggu teman saya kembali, saya mencoba berjalan, dan ternyata kaki kiri saya terasa sakit ketika ditapakkan ke lantai. Hahaha, mau tidak mau saya berjalan seperti lompat kodok, atau seperti belajar kungfu, melatih keseimbangan. Kedua teman saya tertawa saat sudah kembali melihat saya berlagak menirukan gaya kungfu dengan satu kaki atau menirukan gerakan yoga gagal haha. Selama di perpustakaan, terpaksa saya tidak bisa melakukan apa-apa karena nyeri yang berdenyut-denyut. Salah satu teman saya lalu menawarkan film untuk ditonton, ia mengcopy film dari laptopnya dan memasukkannya melalui USB ke laptop saya. Dengan kaki selonjoran di atas kursi (tingkah yang harusnya tidak dilakukan di perpustakaan) saya menonton film komedi yang diberikan teman saya, cukup mengurangi rasa sakit. Teman saya juga lalu membantu memijit kaki saya hahaha untung punya teman-teman yang baik hati (Kak Aci dan Nastiti.. aku padamuuu).

Hingga akhirnya saya bingung harus pulang ke rumah bagaimana. Perjalanan dari kampus ke rumah cukup jauh, dan saya harus naik kereta yang notabene akan sangat ramai pada saat jam pulang kerja. Untung ada ojek online. Saya lalu memesan salah satu ojek online dan minta dijemput di depan perpustakaan. Untung abang ojeknya mau menjemput masuk, sehingga saya tidak perlu bersusah payah jalan ke pintu keluar kampus (yang terasa sangat jauh karena keadaaan kaki yang seperti ini). Saya lalu berpamitan dengan kedua teman saya dan lanjut menikmati perjalanan dengan abang ojek.
Tantangan selanjutnya adalah, saya harus mengambil motor yang saya titipkan di stasiun. Keadaanya adalah, abang saya masih di kantor sampai malam, dan kakak ipar saya sedang di luar negeri, tadaaaa saya harus mengerjakannya sendirii. Sesampai di Tangerang saya langsung meminta abang ojek mengantarkan saya ke tempat penitipan motor. Saya turun dari motor abang ojek, membayar dan berjalan ke arah penitipan motor. Bapak penjaga yang sudah kenal dengan saya langsung menyambut,

“Lah neng, kenapa jalannya pincang?” Tanya si Bapak.

“Iya pak, tadi saya jatoh, keseleo mungkin hehe, boleh minta tolong motor saya dikeluarin pak?” ujar saya.

“Oh iya neng, Bapak bantu.. wah, harus dibawa ke tukang urut neng, sebelum bengkaknya parah..” kata si Bapak sambil mengeluarkan motor saya, beliau tahu saya akan kesusahan mengeluarkan motor dalam keadaan seperti ini.

“Iya pak, ini mau langsung ke tukang urut hehe..” jawab saya.

“bisa neng bawa motornya?” Tanya si Bapak lagi.

“Bisa pak, untung yang sakit cuma kaki kiri, bukan dua-duanya haha..”jawab saya.

“Oh iya ya neng.. haha” tawa si Bapak.

“Untung juga saya bawanya motor matic  Pak, repot kalo bawa motor bebek haha,” kata saya lagi sambil membayangkan jika saya membawa motor bebek yang mengharuskan kaki kiri mengover gigi.

“Hahahaha, iya juga ya neng, semuanya serba untung..” ujar si Bapak.

Saya menaiki motor dengan hati-hati dan berpikir sejenak. Benar juga kata si Bapak, semuanya serba untung. Seharian ini, saya tidak mengeluhkan sakitnya kaki yang membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak produktif.

Saya lalu berpamitan dengan si Bapak, dan menjalankan motor dengan sangat hati-hati. Untung di dekat rumah ada ruko yang bertuliskan pijat tradisional. Tapi sebelumnya saya agak ragu ke sana, takut tukang urutnya adalah laki-laki. Saya pada akhirnya menelpon abang saya yang di kantor dan bertanya saya baiknya mengurut kaki saya di mana. Pada akhirnya saya memutuskan mencoba ke pijat tradisional itu. Saya masuk ke dalam, dan untungnya mereka punya pemijat wanita hahaha. Kaki saya lalu diurut, dan pemijatnya sangat ramah dan baik. Untung bertemu dengan tukang pijat yang baik.

Setelah sedikit meringis dan menahan teriak karena pijitan, bengkak kaki saya mulai berkurang dan kaki saya terasa mendingan. Kata mba pemijatnya, untung saya langsung datang ke sana pas belum  terlalu parah. Saya lalu kembali ke rumah, namun dengan kaki yang sedikit pincang dan saya lapaar. Abang saya menelpon menanyakan keadaan saya, dan saya mengatakan keadaan saya sudah membaik. Lalu dia menawarkan untuk membelikan makan malam. Untung ada abang saya yang siap menjadi obat pereda lapar haha.

Hari itu semuanya serba untung. Apalagi untungnya juga saya sudah selesai mengambil data (penganbilan data saya membutuhkan tenaga untuk berjalan kaki). Walaupun tidak dapat melakukan apa-apa di hari itu, dan mungkin tidak bisa kemana-mana selama beberapa hari ke dapan, saya tetap merasa untung. Bahkan dalam tulisan ini saya sudah mengeluarkan lebih dari 20 kata untung hahaha. Apapun yang terjadi hari itu ternyata saya menikmatinya saja. Tak tahu mengapa, tapi entahlah, semuanya serba untung.

Keesokan paginya, mama saya menelpon dan saya menceritakan insiden kemarin. Dan tahu apa tanggapan dari mama saya?

“Tuh kan, kamu itu udah sering banget jatuh, jalanmu itu suka ga benar, coba jalannya kayak model, belajar jalannya kayak model”


Mendengar pernyataan mama, saya hanya diam dan berkata, “oke ma, semoga bisa jalan kayak model, hahaha.”

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang ambievert -- Bercita-cita dapat mengunjungi 35 Provinsi di Indonesia --Belajar menjadi environmentalist tapi masih sulit untuk hemat energi (namanya juga tahap belajar) -- Sarjana Ekonomi namun tidak begitu paham khatam ekonomi -- penggila senja dan pengagum langit biru -- sangat menyukai perjalanan darat -- tak pernah berhenti kagum atas karya Pencipta alam yang ada di bumi -- Environmental Science, University of Indonesia 2014 (Master degree) -- Resource and Environmental Economics, Bogor Agricultural University 2009-2013 (Bachelor Degree) -- SMAN 5 Bengkulu -- Christian -- I just wanna be a good Indonesian

Popular Posts